Menembus Lorong Waktu di Desa Adat Bena, Flores

Menembus Lorong Waktu di Desa Adat Bena, Flores

Kampung Adat yang Menjadi Primadona Wisata Bena menjadi salah satu ikon wisata utama Kabupaten Ngada. Foto:Instagram@puspita_nagari--

MEDIALAMPUNG.CO.ID - Di tengah perbukitan hijau Pulau Flores, berdiri sebuah desa adat yang seolah membawa siapa pun kembali ke masa lampau. 

Desa itu bernama Bena, terletak di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. 

Ketika kaki menapaki kawasan ini, suasana yang muncul bukan hanya keheningan pegunungan, tetapi juga nuansa budaya purba yang masih dijaga sepenuh hati oleh penduduknya. 

Tidak berlebihan jika banyak pengunjung menggambarkan pengalaman berada di Bena seperti memasuki lorong waktu.

BACA JUGA:Mengenal Situs Megalitik Tutari: Jejak Sejarah dan Falsafah Kepemimpinan Purba di Papua

Keindahan Alam yang Mengitari Bena

Desa Bena berada pada ketinggian sekitar 2.245 meter di atas permukaan laut. Setiap pagi, kabut tebal menyelimuti perkampungan, membawa hawa dingin yang menusuk tetapi sekaligus meneduhkan. Di kejauhan, berdiri kokoh Gunung Inerie yang berbentuk seperti piramida raksasa. Gunung inilah yang dianggap sebagai penjaga desa. 

Di sisi lain tampak Bukit Wolo Ra, sementara dari bagian selatan, pengunjung dapat menyaksikan indahnya pantai yang membentang di Pulau Flores. Pada malam hari, Bukit Manulalu di bagian utara memantulkan cahaya-cahaya rumah vila yang tampak seperti kunang-kunang.

Dari udara, bentuk permukiman Bena terlihat unik. Rumah-rumahnya tersusun memanjang dan rapi, menyerupai sebuah kapal besar yang bertengger di tepi bukit. Alamnya yang asri, hutan bambu, dan pepohonan beringin yang selalu hijau membuat suasana kian magis bagi siapa pun yang berkunjung.

BACA JUGA:Tarian Kipas Pakarena: Warisan Lembut dari Tanah Gowa

Desa yang Telah Berdiri Sejak 12 Abad Silam

Bena bukanlah desa baru. Catatan sejarah menyebutkan bahwa desa ini telah ada lebih dari 12 abad. Karena kuatnya tradisi dan kepercayaan leluhur, Bena dijuluki sebagai kampung para dewa. Desa ini dihuni oleh sembilan suku, yaitu: Tizi Azi, Tizi Kae, Wato, Deru Lalulewa, Deru Solamai, Ngada, Khopa, Ago, dan Bena sebagai suku tertua sekaligus pendiri kampung.

Jumlah rumah di desa ini sekitar 45 unit, dihuni oleh lebih dari 50 kepala keluarga. Meski sederhana, setiap rumah dibangun dengan penuh aturan adat. Material bangunan wajib diambil dari lingkungan sekitar dan tidak boleh didatangkan dari luar kampung. 

Rumah-rumah itu dibangun dari kayu dan beratap keri, yaitu atap tinggi dari anyaman alang-alang yang mampu bertahan hingga puluhan tahun. Semua bangunan didirikan di atas tumpukan batu besar setinggi manusia, sehingga membentuk susunan permukiman bertingkat.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: