Makna dan Filosofi Erau Adat Kutai, Tradisi Kerajaan yang Tetap Lestari
Erau Adat Kutai, tradisi sakral peninggalan Kesultanan yang masih hidup di Tenggarong-Foto IndonesiaKaya-
BACA JUGA:Adat Istiadat Suku Dayak Kalimantan yang Masih Dilestarikan
Makna dan Nilai Filosofis Erau
Erau bukan hanya perayaan adat, melainkan juga memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam.
Dalam setiap prosesi terkandung doa agar hasil pertanian, perkebunan, dan sumber daya alam melimpah di tahun yang akan datang.
Selain itu, Erau juga melambangkan pembersihan diri dan permohonan berkah bagi kehidupan yang lebih baik.
BACA JUGA:Kerajinan Anyaman Bambu dari Tomohon, Manado: Warisan Budaya yang Tetap Hidup
Salah satu bagian yang paling dinantikan masyarakat adalah Belimbur, yaitu tradisi siram-siraman air di jalanan.
Meski tampak seperti permainan, sebenarnya Belimbur melambangkan penyucian diri dari dosa dan energi negatif, serta menyambut tahun baru dengan hati yang bersih.
Biasanya, prosesi Belimbur dilakukan bersamaan dengan pelarungan naga, yakni pelepasan naga buatan ke sungai.
Ritual ini menggambarkan pelepasan energi jahat serta harapan agar masyarakat mendapat keselamatan dan kemakmuran di masa depan.
BACA JUGA:Tari Burung Raja Udang: Simbol Kehidupan dan Keindahan Pesisir Jakarta Utara
Tradisi ini sudah ada sejak masa kerajaan Kutai Lama di Anggana, sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Tenggarong karena faktor keamanan.
Perjalanan sejarah Kutai juga mencerminkan peralihan besar dalam sistem kepercayaan. Awalnya, kerajaan Kutai Martadipura yang diperintah oleh Raja Mulawarman berlandaskan agama Hindu.
Namun setelah berdirinya Kesultanan Kutai Kartanegara pada abad ke-13 dan masuknya Islam pada abad ke-16, budaya dan adat istiadat Kutai mengalami transformasi besar tanpa meninggalkan nilai-nilai lama.
Hal ini menjadikan Erau sebagai simbol perpaduan budaya Hindu dan Islam yang hidup berdampingan secara harmonis.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:





