Para aksi menyebut bahwa aktivitas penggarapan lahan untuk pertanian di wilayah Kota Baru tidak semerta-merta dilakukan oleh masyarakat, lahan yang sebelumnya merupakan wilayah kehutanan yakni Register 40 Gedong Wani tersebut memiliki sejarah panjang yang melekat dengan masyarakat disana.
Dinamika pengelolaan lahan di wilayah Kota Baru tak terlepas dari peran masyarakat yang telah membuka lahan sejak 1960-an yang kemudian pada tahun 1970 terbitlah izin pengelolaan lahan kehutanan dari Dinas Kehutanan kala itu kepada beberapa perusahaan yang salah satunya adalah PT Mitsugoro yang kemudian melakukan penanaman palawija (jagung, sorgum, dan singkong).
Hingga pada tahun 1984 PT Mitsugoro pun bangkrut dan meninggalkan lahan dengan menyisakan HGU 20 tahun, yang kemudian pengelolaan lahan dilanjutkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Selain meninggalkan lahan, sebagian masyarakat lainnya tidak memiliki pilihan lain selain bekerja pada PT Mitsugoro dan LIPI sebagai buruh upah yang bekerja merawat tanaman pertanian milk perusahaan.
BACA JUGA:Kedua Kalinya, Jerman Ditumbangkan Wakil Asia
Reformasi 1998 menjadi titik balik masyarakat untuk melakukan reclaiming atau penguasaan lahan kembali di wilayah itu. Tahun 2001 masyarakat juga sempat dilibatkan dalam pembinaan oleh pemerintah melaka Gerakan Nasional rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN), bahwa masyarakat melakukan penanaman tanaman tajuk tinggi, tajuk rendah dan tajuk sedang sebagai bentuk rehabilitasi Kawasan hutan.
Aktivitas penggarapan tersebut terus dilakukan hingga hari ini meskipun dalam perjalannya pada tahun tahun 2011 Pemerintah Provinsi Lampung menetapkan kebijakan pembangunan kota baru untuk pusat pemerintahan Provinsi Lampung seluas 1300 Ha, melalui Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Lampung Tahun 2009 Sampai Dengan 2029.
Wilayah yang tadinya merupakan bagian dari kawasan hutan Register 40 tersebut dialih fungsikan dan ditukar guling dengan wilayah di Daerah Tulang Bawang dengan dalih pembangunan ibu kota batu bagi Provinsi Lampung.
Penolakan terhadap upaya sewa paksa lahan tersebut sebelumnya pernah dilakukan pada tahun 2014, dimana masyarakat juga pernah ditodong oleh Pemerintah Provinsi untuk melakukan sewa lahan yang selama puluhan tahun sudah mereka garap kepada Pemerintah.
BACA JUGA:9 Orang Tersangka Penyalahgunaan Narkoba Diringkus Satresnarkoba Polresta Bandar Lampung
Adapun protes ini dilakukan kembali hari ini karena terbitnya Surat Keputusan Gubernur Nomor G/293/V1.02/HK/2022 tentang Penetapan Sewa Tanah Kotabaru Yang Belum Dipergunakan Untuk kepentingan Pembangunan Provinsi Lampung pada tanggal 22 April 2022 masyarakat penggarap dipaksa membayar uang sewa sebesar Rp. 300 per meter untuk satu tahun.
Adapun yang menjadi dasar dilakukan penolakan kembali terhadap kebijakan yang kali ini lahir dan Gubernur Arinal Djunaidi hari ini adalah besarnya uang sewa di tengah keadaan ekonomi pasca pandemi ditambah dengan naiknya harga BBM saat ini sangat berdampak bagi masyarakat, belum lagi pupuk yang sulit dis dan harga singkong yang terbilang murah yakni Rp. 1.200 per/kilo, Itupun masih harga kotor belum dipotong kadar air 40 persen.
Selain itu, petani penggarap lahan Kota Baru selama ini tidak pernah dianggap sebagai warga Indonesia dan penduduk dari Provinsi Lampung Kebijakan sewa paksa tersebut seolah meniadakan keberadaan masyarakat petani penggarap yang puluhan tahun ada di sana.
Petani dibuat tidak memiliki pilihan ketika ia harus menerima intimidasi dari Suman Petugas (Satgas) yang merupakan anggota Satpol PP Provinsi yang berjaga di wilayah Kota Baru.
BACA JUGA:Sanggah Banding Ditolak, CV Maju Jaya Perkasa Akan Tempuh Jalur Hukum
Padahal jika mengingat program Gubernur Lampung soal Petani Berjaya, mestinya nasib petani di Provinsi Lampung akan dapat lebih terjamin, namun dengan adanya kebijakan ini justru membuat petani mati di lumbung padi karena harus kehilangan alat produksi berupa lahan.