MEDIALAMPUNG.CO.ID - Diiringi lantunan sarunai dan tabuhan babun (gendang), dua pendekar tampak saling berhadapan di tengah lapangan.
Keduanya bergerak lincah, menampilkan jurus-jurus khas yang penuh keluwesan dan tenaga.
Sesekali, mereka menyelipkan gerakan lucu yang mengundang tawa penonton.
Inilah pertunjukan Kuntau, seni bela diri tradisional yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan.
BACA JUGA:Adat Istiadat Suku Dayak Kalimantan yang Masih Dilestarikan
Asal-Usul dan Sejarah Kuntau
Kuntau dikenal sebagai seni bela diri yang lahir dari perpaduan budaya Tionghoa dan tradisi Banjar.
Kata “kuntau” sendiri diyakini berasal dari bahasa Hokkien, yang berarti “cara bertarung dengan tangan kosong.”
Pada masa Kesultanan Banjar, teknik bela diri ini mulai berkembang setelah adanya hubungan dagang dan budaya dengan masyarakat Tionghoa.
BACA JUGA:Kerajinan Anyaman Bambu dari Tomohon, Manado: Warisan Budaya yang Tetap Hidup
Seiring waktu, gerakan dan filosofi Kuntau disesuaikan dengan nilai-nilai lokal dan ajaran Islam yang kuat di tanah Banjar.
Dahulu, Kuntau diajarkan kepada para prajurit kerajaan sebagai latihan fisik sekaligus pembentukan watak.
Para pendekar Kuntau dikenal bukan hanya karena kekuatan fisiknya, tetapi juga karena kesabaran, disiplin, dan pengendalian diri yang tinggi.
Dalam masa penjajahan Belanda, beberapa tokoh Banjar juga menggunakan kemampuan Kuntau sebagai bentuk perlawanan dan pertahanan diri.
BACA JUGA:Tari Burung Raja Udang: Simbol Kehidupan dan Keindahan Pesisir Jakarta Utara
Kuntau dalam Kehidupan Masyarakat Banjar
Hingga kini, Kuntau tetap hidup di tengah masyarakat. Seni bela diri ini kerap menjadi hiburan rakyat dalam berbagai upacara adat seperti pernikahan, khitanan, dan festival budaya. Pertunjukan Kuntau sering dimulai dengan tabuhan musik tradisional, lalu disusul penampilan dua atau lebih pendekar yang saling memperagakan jurus-jurus dengan irama yang serasi.