
MEDIALAMPUNG.CO.ID — Puluhan tahun mengabdi di sebuah perusahaan tekstil di Karanganyar, Jawa Tengah, tak menjadi jaminan keamanan kerja bagi seorang pria bernama Bakdi.
Pria berusia 50 tahun itu mengalami kondisi kerja yang memilukan sejak awal 2025. Ia dirumahkan tanpa kejelasan status dan hanya menerima gaji Rp 1.000 per bulan—angka yang lebih mendekati simbolik ketimbang layak untuk hidup.
Bakdi, yang mulai bekerja sejak 1995 di bagian penenunan (weaving), merupakan salah satu dari ratusan karyawan yang terdampak kebijakan efisiensi sepihak yang diambil perusahaan.
Pada Februari 2025, ia dinyatakan dirumahkan. Namun hingga kini, perusahaan tidak memberikan surat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara resmi.
BACA JUGA:Menelusuri Jejak Sejarah Sriwijaya di Museum Balaputera Dewa Palembang
Akibatnya, ia masih tercatat sebagai karyawan, tetapi tidak memiliki jam kerja maupun hak gaji penuh.
Fenomena "penggantung status" ini mulai terjadi sejak tahun lalu. Semula, karyawan yang dirumahkan masih menerima 25 persen gaji, mengacu pada Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 1988.
Namun, sejak September 2024 hingga awal 2025, kebijakan itu berubah drastis. Gaji yang dibayarkan menurun tajam, hanya tersisa Rp 1.000 per bulan.
Kondisi ini tak hanya menimpa Bakdi. Berdasarkan penelusuran dan data dari Serikat Pekerja Kimia, Energi, Pertambangan, Gas Bumi, dan Umum (SPKET), jumlah pekerja yang mengalami nasib serupa diperkirakan mencapai sekitar 200 orang.
BACA JUGA:Transformasi Sistem BPJS Kesehatan: Kelas 1, 2, dan 3 Dihapus, Ini Rincian Iuran Terbaru
Mereka rata-rata merupakan karyawan lama dengan masa kerja di atas dua dekade. Mayoritas kini terpaksa mencari penghasilan dari pekerjaan serabutan, sementara status kepegawaian mereka masih “menggantung” di atas kertas.
Sebagian dari mereka telah mengadu ke serikat pekerja. Namun hingga kini belum ada solusi konkret dari manajemen perusahaan.
Mereka tidak diberhentikan secara resmi, tetapi juga tidak diberi beban kerja. Keadaan ini menimbulkan ketidakpastian yang memperpanjang penderitaan para pekerja dan keluarganya.
Kasus ini akhirnya dibawa ke ranah hukum dan kini tengah menunggu putusan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Semarang.
BACA JUGA:Wali Kota Eva Dwiana Ungkap Progres Penanggulangan Banjir di Panjang Utara