Tradisi Tulak Bala di Aceh: Ikhtiar Spiritual Menolak Musibah
Tradisi Tulak Bala di Aceh kini mengalami pergeseran makna di era modern-Ilustrasi Gemini AI-
MEDIALAMPUNG.CO.ID – Aceh dikenal sebagai daerah yang kaya akan tradisi dan nilai-nilai keislaman yang menyatu erat dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu tradisi yang hingga kini masih lestari, khususnya di wilayah pesisir barat dan selatan Aceh, adalah Tradisi Tulak Bala.
Tradisi ini umumnya dilaksanakan setiap akhir bulan Safar dalam kalender Hijriah dan dikenal pula dengan sebutan Rabu Abeh.
Bagi masyarakat Aceh, Tulak Bala bukan sekadar ritual budaya. Tradisi ini dimaknai sebagai bentuk ikhtiar spiritual dan sosial untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT dari berbagai musibah, penyakit, serta gangguan yang diyakini rawan terjadi pada bulan Safar.
BACA JUGA:Jangan Abaikan Neutrofil Tinggi, Bisa Jadi Tanda Penyakit Serius
Bulan Safar dalam Pandangan Masyarakat Aceh
Dalam kepercayaan masyarakat Aceh, bulan Safar kerap dikaitkan dengan kondisi alam dan batin yang kurang stabil.
Perubahan cuaca yang ekstrem, tubuh yang lebih rentan terhadap penyakit, serta suasana psikologis yang tidak menentu membuat bulan ini dikenal sebagai buleun seuum atau “bulan panas”. Istilah ini merujuk pada masa yang dipercaya rawan datangnya bala atau malapetaka.
Keyakinan tersebut juga diperkuat oleh literatur keagamaan klasik yang menyebutkan bahwa pada hari Rabu terakhir bulan Safar, berbagai cobaan dan musibah diturunkan ke bumi. Hari itu dianggap sebagai salah satu hari terberat dalam setahun, sehingga umat dianjurkan untuk memperbanyak doa, ibadah, dan amal kebajikan.
BACA JUGA:Antisipasi Cuaca Ekstrem, DLH Bandar Lampung Gencarkan Pemangkasan Pohon
Asal-usul Rabu Abeh
Tradisi Tulak Bala tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan memiliki akar sejarah yang panjang. Sejumlah tokoh adat dan akademisi Aceh menyebutkan bahwa Tulak Bala berkaitan erat dengan tradisi Asyura dan Arbain dalam sejarah Islam.
Asyura diperingati setiap 10 Muharam sebagai hari wafatnya Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, di Karbala. Empat puluh hari setelah peristiwa tersebut dikenal sebagai Arbain.
Dalam tradisi Aceh, kenduri 40 hari bagi orang meninggal diyakini memiliki keterkaitan dengan peringatan Arbain. Setelah rangkaian tersebut, hari Rabu berikutnya kemudian dipilih sebagai waktu pelaksanaan Tulak Bala sebagai simbol penolakan bala yang menimpa keluarga Nabi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:




