Seba di Banten: Perjalanan Adat Suku Baduy yang Penuh Makna

Seba di Banten: Perjalanan Adat Suku Baduy yang Penuh Makna

Seba bukan hanya milik Suku Baduy, tetapi juga bagian dari identitas budaya Indonesia. - Foto:Instagram@adityafajarr--

MEDIALAMPUNG.CO.ID - Di tengah gempuran teknologi dan kehidupan modern, sebagian besar masyarakat kini bergantung pada kemajuan zaman. 

Namun, di pedalaman Banten, tepatnya di Kabupaten Lebak, ada sebuah komunitas adat yang memilih untuk menjaga cara hidup tradisional. 

Komunitas ini dikenal sebagai Suku Baduy, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. 

Keduanya memiliki aturan adat yang ketat dan tradisi yang tetap dijalankan turun-temurun, salah satunya adalah prosesi tahunan bernama Seba.

BACA JUGA:Lampung Kebanjiran Rokok Tanpa Cukai

Tradisi Seba memiliki akar sejarah panjang dari masa pemerintahan kerajaan di Banten. Pada waktu itu, masyarakat Baduy rutin mengunjungi pusat pemerintahan untuk menyerahkan hasil bumi kepada penguasa. 

Hasil bumi tersebut dianggap sebagai simbol rasa hormat dan wujud pengabdian rakyat kepada pemimpin. Seiring perubahan sistem pemerintahan, penerima hasil bumi kini adalah Bupati Lebak dan Gubernur Banten.

Seba tidak hanya berfungsi sebagai seremonial adat, tetapi juga menjadi media komunikasi antara warga Baduy dengan pemimpin daerah. 

Melalui acara tersebut mereka menyampaikan pesan tentang pentingnya hidup damai, menjaga alam, dan memelihara kebersamaan.

BACA JUGA:Antusias Tinggi! Tiket Bhayangkara Presisi Lampung FC Sold Out dalam 18 Jam

Pelaksanaan Seba umumnya dilakukan setelah musim panen raya, satu kali dalam setahun. Penentuan tanggalnya dilakukan melalui musyawarah para tetua adat. 

Pada hari yang telah disepakati, warga Baduy memulai perjalanan panjang dari kampung mereka menuju pusat pemerintahan di Rangkasbitung, bahkan hingga ke Kota Serang.

Perjalanan tersebut menempuh jarak sekitar seratus kilometer dan seluruhnya dilakukan dengan berjalan kaki. Hal ini sesuai dengan aturan adat mereka yang menghindari penggunaan sarana transportasi modern.

Perjalanan panjang ini tidak hanya menjadi ujian fisik, tetapi juga simbol ketekunan dan kesungguhan dalam menjalankan adat.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: