Sawah Jaring Laba-Laba Cancar, Keindahan Unik Warisan Adat Manggarai

Sawah Jaring Laba-Laba Cancar, Keindahan Unik Warisan Adat Manggarai

Sawah Jaring Laba-Laba / Foto -- instagram @nttbeta_--

BACA JUGA:Pemprov Lampung Dukung Pembentukan Perda Anti-LGBT

Pada periode itu, pemandangan terlihat lebih hidup dan kontras. Pengunjung yang datang di pagi hari sebelum matahari meninggi atau di sore hari menjelang senja akan mendapatkan sudut pencahayaan yang ideal untuk menangkap keindahan pola.

Pengelolaan kawasan Sawah Jaring Laba-Laba melibatkan masyarakat setempat. Warga tidak hanya mengandalkan sawah untuk kebutuhan pangan, tetapi juga menjadikannya sumber penghasilan dari kunjungan wisatawan. 

Beberapa warga menyediakan jasa pemandu lokal yang bertugas mengantar dan menjelaskan sejarah, filosofi, serta proses pembagian lahan. 

Pendekatan ini memungkinkan wisatawan mendapatkan pengalaman yang lebih lengkap, sekaligus memberikan pemasukan tambahan bagi warga desa.

BACA JUGA:Tatung di Singkawang: Ritual Magis dan Pesona Budaya Cap Go Meh

Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai mencatat adanya kenaikan jumlah pengunjung dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019, sekitar 12 ribu wisatawan datang ke lokasi ini, dan pada 2023 jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 18 ribu orang. 

Peningkatan ini didorong oleh promosi di media sosial, liputan media massa, dan unggahan wisatawan yang mempopulerkan destinasi ini di platform digital.

Untuk mendukung perkembangan pariwisata, pemerintah daerah telah memperbaiki akses jalan menuju lokasi, menambah papan petunjuk arah, dan menyediakan area parkir yang memadai. 

Pelatihan pemandu wisata juga dilakukan secara berkala agar informasi yang disampaikan akurat dan sesuai konteks budaya.

BACA JUGA:Cara Memilih Melon Super Manis Tanpa Harus Membelah Kulitnya

Langkah-langkah ini diharapkan membuat pengunjung merasa lebih nyaman dan mendapatkan pemahaman yang benar tentang nilai budaya di balik keindahan sawah tersebut.

Selain menonjolkan keindahan, Sawah Jaring Laba-Laba menjadi bukti harmonisasi antara alam, budaya, dan kearifan lokal. 

Sistem lingko mengajarkan bahwa pengelolaan sumber daya harus berlandaskan kesetaraan. Filosofi ini juga mendorong kerjasama antarwarga dalam mengelola lahan. 

Kegiatan menanam, memelihara, dan memanen dilakukan secara gotong royong, mencerminkan solidaritas sosial yang kuat.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: