Komunitas Tionghoa turut meninggalkan jejak penting dalam sejarah Temanggung.
Klenteng Kong Ling Bio yang berdiri sejak akhir abad ke-19 menjadi pusat peribadatan Dewa Bumi dan hingga kini masih aktif digunakan.
Klenteng ini tidak hanya dikunjungi oleh masyarakat Tionghoa, tetapi juga warga lokal lainnya, mencerminkan interaksi budaya yang erat sejak masa kolonial.
BACA JUGA:Gubernur Mirza Tinjau Way Kanan, Jembatan Rusak hingga POC Hayati Jadi Perhatian
Infrastruktur Pendidikan dan Keuangan Kolonial
Pengaruh kolonial juga terlihat pada bangunan sekolah menengah di Jalan Dr. Sutomo dengan pilar-pilar besar bergaya Indisch Empire.
Sementara itu, bekas rumah kepala pegadaian atau pandhuis menunjukkan peran penting lembaga keuangan kolonial dalam kehidupan masyarakat.
Kehadiran pegadaian menjadi alternatif peminjaman yang dianggap lebih aman dan teratur dibandingkan praktik rentenir saat itu.
BACA JUGA:Kupat Tahu: Kuliner Tradisional Nusantara yang Sederhana namun Kaya Cita Rasa
Jejak Transportasi dan Pemakaman Eropa
Dalam bidang transportasi, keberadaan Stasiun Temanggung menjadi bukti bahwa kota ini pernah terhubung dengan jaringan kereta api pada awal abad ke-20.
Jalur Secang–Parakan dibangun untuk mendukung distribusi hasil bumi dan mobilitas penduduk. Meski berhenti beroperasi sejak 1970-an, bangunan stasiun dan jembatan rel seperti di Kali Kuwas masih berdiri sebagai saksi sejarah.
Jejak kolonial lain yang kini hampir terlupakan adalah bekas pemakaman Belanda atau kerkhof. Area ini telah berubah fungsi, namun gapura yang tersisa menjadi penanda bahwa Temanggung pernah menjadi tempat tinggal sekaligus peristirahatan terakhir warga Eropa.
BACA JUGA:Huawei MateBook D14, Laptop Ringkas Berkualitas di Kelas Menengah
Kesimpulan
Jejak kolonial di Temanggung memang tidak selalu tampil megah, namun justru itulah yang membuatnya menarik. Bangunan lama, tata kota, dan sisa infrastruktur kolonial berfungsi sebagai ingatan kolektif yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini.