Kehidupan masyarakat Kajang berbeda dengan masyarakat modern pada umumnya. Di kawasan Kajang Dalam, masyarakat masih menolak penggunaan teknologi modern.
Mereka tidak menggunakan listrik, kendaraan bermotor, atau alat elektronik. Pakaian mereka serba hitam — warna yang melambangkan kesetaraan, keteguhan, dan ketulusan hati.
Bagi masyarakat Kajang, hitam bukan simbol kesedihan, tetapi warna yang menyatukan seluruh elemen kehidupan.
BACA JUGA:Misteri Batu Megalitik Lembah Bada, Warisan Budaya Kuno di Sulawesi Tengah
Dengan berpakaian seragam, mereka menegaskan bahwa tidak ada perbedaan derajat di antara sesama manusia. Semua dianggap setara di mata Tuhan dan alam.
Kesederhanaan ini juga tercermin dalam cara mereka berinteraksi dengan lingkungan. Masyarakat Kajang dilarang menebang pohon sembarangan atau merusak hutan tanpa izin adat.
Alam bagi mereka bukan sesuatu yang bisa dieksploitasi, melainkan tempat suci yang memberi kehidupan.
Karena itu, ritual seperti Andingingi menjadi pengingat agar manusia selalu bersikap hormat dan menjaga kelestarian alam.
BACA JUGA:Pakaian Adat Suku Mandar: Busana Tradisional dari Sulawesi Barat
Warisan Budaya yang Terus Bertahan
Di tengah arus modernisasi yang begitu cepat, masyarakat Kajang tetap teguh mempertahankan jati diri mereka.
Pemerintah daerah dan lembaga budaya sering menjadikan wilayah Kajang sebagai contoh pelestarian tradisi dan kearifan lokal.
Banyak wisatawan dan peneliti datang ke Bulukumba untuk menyaksikan langsung kehidupan masyarakat Kajang dan memahami nilai-nilai budaya mereka yang mendalam.
BACA JUGA:Makna dan Filosofi Perahu Sandeq: Warisan Agung Suku Mandar Penakluk Lautan
Ritual Andingingi, misalnya, kini tidak hanya berfungsi sebagai upacara adat, tetapi juga sebagai sarana pendidikan budaya.
Generasi muda diajarkan untuk memahami makna di balik setiap doa dan simbol dalam ritual, agar nilai-nilai itu tidak hilang dimakan zaman.