BACA JUGA:Upacara Adat Badudus Mandaring: Ritual Penyucian Suci Masyarakat Dayak
Perkembangan dan Pelestarian
Setelah masa kerajaan berakhir, Tari Pajoge sempat berkurang kepopulerannya karena perubahan zaman. Namun, para seniman dan pemerhati budaya Sulawesi Selatan berusaha keras untuk melestarikannya.
Melalui festival budaya, pementasan daerah, hingga pengajaran di sekolah-sekolah seni, Tari Pajoge kembali hidup di tengah masyarakat.
Kini, Tari Pajoge tidak hanya dipentaskan di istana atau acara adat, tetapi juga menjadi bagian dari berbagai kegiatan resmi seperti penyambutan tamu daerah, pernikahan adat, hingga pertunjukan wisata.
Pelestarian ini tidak hanya menjaga bentuk fisiknya, tetapi juga nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya, seperti rasa hormat, kesopanan, dan kebanggaan terhadap budaya lokal.
BACA JUGA:Pakaian Tradisional Suku Dayak Kalimantan Tengah
Nilai dan Pesan Filosofis
Lebih dari sekadar gerak tari, Tari Pajoge menyampaikan pesan moral yang kuat. Ia mengajarkan bahwa keindahan sejati berasal dari sikap yang sopan dan beretika.
Wanita Bugis-Makassar digambarkan sebagai sosok yang lembut namun memiliki kehormatan tinggi.
Tari ini juga mengingatkan generasi muda agar tidak melupakan akar budaya mereka. Dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh pengaruh luar, Tari Pajoge menjadi pengingat akan pentingnya menjaga jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa.
BACA JUGA:Keindahan Tari Dadas dan Tari Bawo, Warisan Budaya Suku Dayak Kalimantan
Keanggunan gerakan dan kesederhanaan ekspresi menjadi simbol keseimbangan antara lahir dan batin, antara adat dan kemajuan.
Tari Pajoge merupakan warisan berharga dari kebudayaan Bugis-Makassar yang memadukan seni, etika, dan sejarah.
Berawal dari lingkungan istana kerajaan, tarian ini berkembang menjadi lambang keindahan dan kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan.
Gerakannya yang halus, musiknya yang tenang, serta busana yang indah menjadikan Tari Pajoge sebagai perwujudan nilai sopan santun dan kehormatan perempuan.