
Dalam acara seperti perang pandan, misalnya, penggunaan kain ini merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur dan nilai-nilai kesucian.
Meskipun kaya nilai budaya, keberlangsungan tenun Gringsing kini menghadapi tantangan besar. Generasi muda semakin sedikit yang berminat mempelajari proses pembuatannya karena dianggap terlalu lama dan rumit.
BACA JUGA:Gamolan Pekhing: Instrumen Musik Bambu Khas Lampung yang Mendunia
Selain itu, industri tekstil modern menghadirkan produk yang lebih cepat dan murah, meski tentu tidak sebanding dari sisi nilai budaya maupun kualitas.
Namun, masih ada harapan. Pemerintah daerah, komunitas budaya, serta berbagai pegiat warisan budaya kini aktif mendorong pelestarian Gringsing melalui pelatihan, promosi di festival budaya, hingga pengenalan di ajang internasional.
Kain Gringsing juga sempat dipilih sebagai suvenir resmi dalam pertemuan tingkat tinggi antarnegara, yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi para pengrajin Bali.
Tenun Gringsing bukan sekadar hasil keterampilan tangan, melainkan cermin dari jati diri masyarakat Bali yang menjunjung tinggi nilai harmoni, ketekunan, dan spiritualitas.
BACA JUGA:Tari Boboko Mangkup: Simbol Ketahanan Pangan dalam Balutan Gerak Seni Sunda
Melestarikan Gringsing berarti turut menjaga warisan luhur yang tidak ternilai harganya.
Di tengah derasnya arus modernisasi, kain ini menjadi pengingat bahwa keindahan sejati lahir dari kesabaran dan makna yang mendalam.(*)