Iringan musik tradisional—biasanya saronen—mengawali start perlombaan sebelum penghias dilepas kecuali hiasan kepala (obet), lalu joki berdiri di atas papan kayu (kaleles), dan keduanya dipacu sepanjang lintasan berdebu.
Lombanya sangat cepat—dapat berlangsung kurang dari satu menit. Konsentrasi dan kemampuan menjinakkan sapi jadi kunci.
Joki dituntut untuk menjaga sapi tetap sejajar dan tidak menggiring ke satu sisi. Kecepatan dan keharmonisan keduanya berperan menentukan siapa yang memenangkan balapan.
Karapan sapi dibagi menjadi beberapa tingkat sesuai lokasi dan prestise:
- Tingkat Kecamatan (Kerap Keni): Ajang pemula untuk sapi muda.
- Tingkat Kabupaten (Kerap Raja): Menghimpun pemenang dari berbagai kecamatan.
- Tingkat Karesidenan (Kerap Karesidenan): Final dari seluruh kabupaten, biasanya berlangsung di Kabupaten Pamekasan.
- Acara Khusus (Kerap Onjangan): Diselenggarakan untuk kepentingan adat atau perayaan nasional.
- Latihan Umum (Kerap Jar-Jaran): Sesi latihan terbuka sebelum lomba resmi.
BACA JUGA:Legenda Terbentuknya Telaga Sarangan
Puncaknya adalah Karapan Sapi Piala Presiden, ajang prestisius yang menyajikan sederetan sapi terbaik dari seluruh Madura, sekaligus menarik wisatawan nasional dan internasional.
Karapan sapi tidak pernah lepas dari kontroversi—terutama soal kesejahteraan hewan. Praktik pelibatan kekerasan seperti pemukulan atau pelecut tajam sering menjadi sorotan.
Bagi sebagian orang, hal itu sah-sah saja sebagai bagian dari tradisi. Namun, bagi yang lain, praktik tersebut dianggap tidak manusiawi.
Sebagai respons, banyak daerah mulai mengubah cara penyelenggaraan. Balapan berjalan bersih dari kekerasan, hanya mengandalkan pelatihan dan teknik joki.
BACA JUGA:Rumah Adat Jawa Timur: Ragam, Fungsi, dan Makna Budayanya
Pemerintah kabupaten bahkan menetapkan aturan perlombaan agar berjalan secara etis, aman, dan tertib. Ajang Piala Presiden pun sudah menerapkan prinsip “nol kekerasan”.
Balapan sapi menjadi ajang penting bagi masyarakat sekitar—bukan hanya sebagai tontonan, tapi juga kesempatan berkumpul, mendukung, dan menjalin relasi.
Semua elemen masyarakat mendapat peran: peternak, joki, penata, musisi, dan masyarakat umum. Hal itu memperkuat rasa saling memiliki dan identitas bersama.
Selain itu, karapan sapi membuka peluang ekonomi baru. Dari pedagang makanan, suvenir, hingga jasa transportasi dan akomodasi, banyak sektor yang diuntungkan.
BACA JUGA:Reog Ponorogo: Simbol Kearifan Lokal yang Mendunia
Karena itulah pemerintah daerah terus mengembangkan tradisi ini, termasuk mempromosikannya melalui media digital agar makin dikenal dan diminati.