Komoditas seperti kopi, vanili, dan rempah-rempah—terutama kayu manis—diolah dan dijual kepada pengunjung.
Produk-produk ini memiliki kualitas tinggi dan sering dibawa pulang sebagai oleh-oleh karena keunikan proses produksinya.
Selain sektor pertanian, masyarakat juga aktif dalam kerajinan tangan, khususnya tenun ikat khas Manggarai yang kaya warna dan simbol.
Setiap motif tenunan membawa cerita dan filosofi yang diwariskan secara turun-temurun. Produk ini tidak hanya memiliki nilai ekonomi, tetapi juga menjadi media pelestarian budaya yang kuat.
BACA JUGA:Paisu Pok, Danau Eksotis di Sulawesi Tengah
Salah satu daya tarik utama Wae Rebo adalah sambutan hangat dari penduduknya. Wisatawan yang datang tidak diperlakukan sebagai orang asing, tetapi dianggap sebagai bagian dari keluarga besar desa.
Sebelum masuk ke kawasan desa, pengunjung mengikuti upacara penyambutan tradisional yang disebut waelu’u, sebagai bentuk penghormatan terhadap adat setempat.
Meski tetap berpegang pada tradisi, masyarakat Wae Rebo juga terbuka terhadap perkembangan dari luar. Namun keterbukaan itu dijalankan secara selektif agar nilai-nilai budaya tidak terkikis oleh kemajuan zaman.
Model pariwisata yang diterapkan berbasis komunitas, dengan prinsip utama menjaga keseimbangan antara aktivitas wisata dan kelestarian budaya serta lingkungan.
BACA JUGA:Coban Rondo: Simfoni Alam dan Jejak Cinta yang Abadi
Wae Rebo adalah contoh nyata bagaimana tradisi dan kehidupan modern dapat berjalan berdampingan jika dikelola dengan bijaksana.
Desa ini menjadi inspirasi tentang pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dan alam sebagai dasar kehidupan berkelanjutan.
Di tengah arus perubahan dunia, Wae Rebo tetap teguh sebagai penjaga warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Ia bukan hanya destinasi yang indah, tetapi juga refleksi dari kebijaksanaan leluhur yang tetap relevan hingga saat ini.(*)