Pengoplosan Beras SPHP Terbukti, Pemerintah Diminta Bertindak Tegas
Pakar pangan Universitas Andalas (Unand), Muhammad Makky. Foto Unand--
MEDIALAMPUNG.CO.ID – Dugaan pengoplosan beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) milik Bulog akhirnya terbukti di lapangan.
Sebuah penggerebekan yang dilakukan Kepolisian Daerah (Polda) Riau mengungkap praktik curang di balik distribusi beras yang semestinya menjadi bagian dari bantuan pangan pemerintah.
Lokasi penggerebekan berada di Jalan Mulyorejo, Kota Pekanbaru. Dari tempat itu, petugas menyita sedikitnya sembilan ton beras oplosan yang dikemas ulang dan dipasarkan seolah-olah sebagai beras SPHP Bulog dan beras premium.
Seorang pria berinisial R yang diduga sebagai pelaku utama langsung diamankan dalam operasi tersebut.
BACA JUGA:Mau Pinjaman Rp100 Juta Tanpa Agunan? Simak Cara Ajukan KUR BRI 2025
Temuan ini menguatkan sinyalemen yang sempat dilontarkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman beberapa waktu lalu soal dugaan adanya pengoplosan beras subsidi.
Praktik ini tidak hanya merugikan konsumen, tapi juga mencederai semangat keadilan sosial yang menjadi dasar program pangan pemerintah.
Pakar pangan dari Universitas Andalas, Muhammad Makky, menilai peristiwa ini sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap regulasi pangan yang berlaku di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa tindakan mencampur beras subsidi dengan kualitas rendah atau beras reject, lalu menjualnya kembali dengan label premium, merupakan kejahatan yang harus mendapat sanksi tegas.
BACA JUGA:Hindari Konsumsi Pepaya Bersamaan dengan 10 Makanan Ini
Selain menyalahi hukum, aksi ini juga dinilai menodai kepercayaan publik terhadap program pemerintah yang menggunakan anggaran rakyat.
Dalam praktiknya, pelaku menjalankan dua modus utama. Pertama, mencampur beras rendah mutu menjadi seolah-olah beras SPHP Bulog.
Kedua, mengemas ulang beras murah dari wilayah Pelalawan ke dalam karung berlabel premium seperti Aira, Family, Anak Dara Merah, dan Kuriak Kusuik.
Strategi ini digunakan untuk mengelabui konsumen dan mendulang keuntungan lebih, dengan selisih harga hingga Rp 9.000 per kilogram.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:




