Jejak Musik Krumpyung, Nada Bambu dari Masa Majapahit

BACA JUGA:Kesenian Rapai: Warisan Budaya Islami dari Kerajaan Samudra Pasai

Dari ciptaannya inilah lahir tradisi musik bambu yang diteruskan oleh para seniman hingga generasi Sumitro sekarang.

Krumpyung memiliki bentuk unik berupa deretan bambu yang digantung pada kerangka dan disusun sesuai urutan nada. 

Tangga nadanya bisa pentatonik (6-1-2-3-5) atau diatonik (do-re-mi), tergantung jenis lagu yang dimainkan. 

Karena bunyinya khas “pating krumpyung” dalam bahasa Jawa, alat musik ini kemudian dikenal dengan nama tersebut.

BACA JUGA:3 Peninggalan Kerajaan Majapahit yang Masih Terjaga Hingga Kini

Dulu, musik krumpyung menjadi pengiring berbagai acara tradisional seperti hajatan, khitanan, hingga tari Tayub. 

Namun saat masa pendudukan Jepang, kesenian ini sempat hilang. Baru pada tahun 1973, Sumitro berhasil menghidupkannya kembali. 

Bahkan, pada tahun yang sama ia tampil dalam Konferensi UNESCO di Surakarta, memperkenalkan musik krumpyung ke hadapan tamu-tamu internasional.

Siapa sangka, dari sebuah desa kecil di Kulon Progo, musik krumpyung bisa melanglang buana. Dalam Festival Gamelan Internasional, kesenian ini pernah dipentaskan berdampingan dengan berbagai musik tradisi dunia. 

BACA JUGA:Upacara Keagamaan dan Religi di Era Majapahit: Harmoni antara Hindu dan Buddha

Beberapa musisi dari Prancis dan Australia pun datang belajar langsung pada Sumitro untuk mengenal instrumen bambu khas Jawa ini.

Tak hanya tampil di panggung budaya, karya Sumitro bahkan menembus pasar ekspor. Ia menerima pesanan alat musik krumpyung dari luar negeri, termasuk dari Belanda. 

Salah satu kreasinya yang unik adalah “musik taman”, alat musik otomatis yang berbunyi indah saat digerakkan oleh air atau angin. 

Inovasi ini membuktikan bahwa warisan tradisi bisa berpadu dengan ide-ide kreatif modern.

Sumber: