Kolintang Sulawesi Utara: Harmoni Kayu dari Minahasa
Kolintang adalah warisan budaya dari tanah Minahasa yang lahir dari kreativitas sederhana, berkembang menjadi alat musik besar, dan kini diakui dunia.-Foto IndonesiaKaya-
MEDIALAMPUNG.CO.ID - Indonesia dikenal sebagai negeri dengan keragaman budaya yang luar biasa.
Dari ribuan pulau yang tersebar, setiap daerah memiliki tradisi, kesenian, serta alat musik khasnya masing-masing.
Di ujung utara Pulau Sulawesi, tepatnya di tanah Minahasa, lahir sebuah alat musik kayu yang indah dan unik, yaitu kolintang.
Alat musik ini tidak hanya memancarkan suara merdu, tetapi juga menyimpan sejarah panjang dan filosofi mendalam yang merepresentasikan masyarakat Minahasa.
BACA JUGA:Ronggeng Ketuk: Seni Tradisional Banyumas yang Hidup di Tengah Masyarakat
Dari Bunyi Jadi Nama
Kolintang mendapat namanya dari bunyi nada yang dihasilkan bilah kayunya. Ada nada rendah berbunyi tong, nada tinggi berbunyi ting, dan nada tengah berbunyi tang.
Masyarakat dahulu sering berkata, “Mari kita ber-tong-ting-tang,” yang dalam bahasa daerah dikenal sebagai maimo kumolintang. Dari kebiasaan itu, lahirlah sebutan kolintang.
Menariknya, nama ini tidak hanya sekadar identitas, tetapi juga mengandung pesan kebersamaan. Bermain kolintang hampir selalu dilakukan secara berkelompok, seakan menegaskan pentingnya kerja sama dan kekompakan, yang juga menjadi nilai utama dalam kehidupan masyarakat Minahasa.
BACA JUGA:Telempong Unggan: Kesenian Musik Tradisional dari Sijunjung
Perjalanan Sejarah Kolintang
Sejarah kolintang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Pada mulanya, bilah-bilah kayu hanya diletakkan di atas kaki pemain yang duduk bersila di tanah. Cara sederhana ini mampu menghasilkan bunyi yang khas meskipun terbatas.
Seiring waktu, orang-orang mulai menggunakan batang pisang atau tali sebagai penopang bilah kayu, sebelum akhirnya muncul kotak resonansi yang membuat suara kolintang lebih jelas dan kuat.
Namun, kolintang pernah mengalami masa sulit. Ketika agama Kristen masuk ke Minahasa, alat musik ini dianggap dekat dengan ritual lama sehingga hampir ditinggalkan.
BACA JUGA:Tradisi Topeng Menor: Warisan Betawi yang Lucu dan Penuh Warna
Baru setelah Perang Dunia II, kolintang bangkit kembali berkat Nelwan Katuuk, seorang tokoh yang menyusun nada kolintang dengan sistem diatonis.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:





