DPP PEMATANK dan Aliansi KERAMAT Desak Kejati Lampung Usut Tuntas Dugaan Mafia Tanah

DPP PEMATANK dan Aliansi KERAMAT Desak Kejati Lampung Usut Tuntas Dugaan Mafia Tanah

Ketua Umum DPP PEMATANK,Suadi Romli--

MEDIALAMPUNG.CO.ID - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PEMATANK bersama Aliansi KERAMAT menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung pada Rabu 15 Januari 2025.

Mereka mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum tertentu dalam penguasaan lahan negara secara ilegal.  

Ketua Umum DPP PEMATANK,Suadi Romli, menegaskan bahwa praktik mafia tanah telah berlangsung secara sistematis dan terorganisir, mengakibatkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat.  

"Berapa banyak aset bangsa yang sudah dirampas? Kasus korupsi belum tuntas, kini muncul lagi modus baru seperti penguasaan lahan negara oleh mafia tanah," Kata Romli.

BACA JUGA:SIMFONI PPA Catat 636 Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Lampung Sepanjang 2024

BACA JUGA:Pj Bupati Aswarodi Hadiri Rapat Paripurna Penetapan Bupati dan Wakil Bupati Terpilih

Menurut Romli, dampak praktik mafia tanah tidak hanya merugikan ekonomi negara, tetapi juga mengakibatkan kerusakan lingkungan, hilangnya aset negara, serta memicu konflik antara masyarakat dan perusahaan.   

DPP PEMATANK menyoroti dugaan pengalihan fungsi kawasan hutan menjadi lahan perkebunan di wilayah Lampung Selatan dan Way Kanan.

Mereka mendesak Kejati Lampung untuk meningkatkan status penyelidikan kasus ini menjadi penyidikan apabila ditemukan bukti yang cukup.  

Selain itu, mereka mengungkap adanya dugaan penyalahgunaan wewenang oleh oknum penguasa daerah yang berkolaborasi dengan perusahaan.

BACA JUGA:Mirza-Jihan Komitmen Perkuat Pemberdayaan Desa Lewat BUMDes

BACA JUGA:Komisi II DPR RI Bahas Dua Opsi Jadwal Pelantikan Kepala Daerah Terpilih

Oknum-oknum tersebut diduga memanipulasi pengajuan Hak Guna Usaha (HGU) dan mengalihfungsikan kawasan hutan secara ilegal.  

"Banyak perusahaan yang seharusnya mengelola 100 hektar lahan, tetapi faktanya tidak sesuai realisasi. Sebagian besar justru dikelola koperasi-koperasi yang diduga hanya menjadi kedok untuk menghindari pajak," Ungkapnya.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: