Harimau Serang Petani Hingga Tewas, Akademisi: BKSDA Pihak yang Paling Bertanggung Jawab
Akademisi dan warga Batu Brak, Dr. Yunada Apan, mengkritik keras BKSDA, sebut konflik harimau akibat kegagalan sistem konservasi--
LAMBAR, MEDIALAMPUNG.CO.ID— Tragedi demi tragedi terus terulang di Kabupaten Lampung Barat. Dalam kurun 1,5 tahun terakhir, sembilan warga menjadi korban serangan harimau, enam diantaranya meninggal dunia.
Terbaru, Misni (62), seorang petani kopi asal Pemalang, Jawa Tengah, yang tinggal Dusun Umbul Lima, Pekon Sukabumi, Kecamatan Batu Brak, ditemukan tewas mengenaskan pada Kamis malam (10 Juli 2025), dengan luka gigitan di beberapa bagian tubuh.
Peristiwa yang terjadi tak jauh dari kawasan hutan lindung ini kembali memicu ketakutan massal. Warga di tengah musim panen enggan ke kebun.
Aktivitas ekonomi terganggu. Di sisi lain, pertanyaan besar kembali mengemuka: di mana peran dan kesiapsiagaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)?
BACA JUGA:Harga Perak Tembus Rekor Tertinggi 14 Tahun, Pasar Dunia Berebut Logam Mulia
Dr. Yunada Apan, akademisi dan warga Batu Brak, secara tegas menyebut bahwa BKSDA adalah pihak yang paling bertanggung jawab secara langsung atas penanganan konflik manusia dengan satwa liar.
"BKSDA tidak bisa hanya menjadi lembaga yang muncul setelah ada korban. Peran mereka semestinya antisipatif, bukan reaktif," ujarnya.
Menurut Yunada, BKSDA—yang berada di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—memiliki mandat legal yang kuat berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Termasuk di dalamnya upaya deteksi dini, mitigasi risiko, dan edukasi publik.
"Kalau BKSDA baru datang setelah warga tewas, itu bukan mitigasi, itu kedaruratan yang terlambat,” katanya tajam.
BACA JUGA:4 Selebriti Menjabat di BUMN di Era Prabowo: Terobosan atau Gimmick?
Salah satu narasi yang berkembang adalah perambahan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang menyebabkan terganggunya rantai makanan satwa liar. Namun Yunada menolak menyederhanakan masalah.
“Sebagian masyarakat yang hari ini dicap ‘perambah’ sebenarnya telah tinggal dan berkebun jauh sebelum hutan itu ditetapkan sebagai taman nasional,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa konflik ini adalah buah dari kegagalan sistemik dalam mengelola batas antara konservasi dan hak hidup masyarakat adat maupun lokal yang menggantungkan hidup pada lahan di sekitar hutan.
Menurut Yunada, perlu pemahaman bahwa BKSDA dan pengelola taman nasional (TNBBS) bukan entitas yang terpisah. Mereka memiliki peran berbeda, tetapi tujuan yang sama: melindungi satwa dan manusianya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:





