“Kalau di BPBD belum ada program untuk pemasangan alat. Tapi ke depan mungkin akan kami jadikan satu prioritas ya untuk terkait dengan pemasangan EWS, Early Warning System, di sepanjang pantai. Itu untuk deteksi tsunami,” katanya.
Pernyataan Edy menunjukkan bahwa teknologi EWS yakni sistem peringatan dini tsunami tidak dianggarkan penambahan pengadaan nya area pesisir pantai kota Bandar Lampung.
Padahal, kota ini secara geografis berhadapan langsung dengan Teluk Lampung dan berada di jalur rawan gempa megathrust.
Ketiadaan EWS menjadi catatan krusial bagi keselamatan warga pesisir, mengingat simulasi tsunami dan jalur evakuasi pun masih terbatas.
BACA JUGA:Wali Kota Eva Dwiana Ajak Warga Bandar Lampung Sambut Peserta Tabligh Akbar dengan Keramahan
Minimnya alokasi untuk mitigasi, belum adanya program penambahan EWS, serta fokus yang masih dominan pada pelatihan manual menunjukkan bahwa upaya penguatan kebencanaan Kota Bandar Lampung masih berada pada tahap mendasar.
Di sisi lain, Komisi IV DPRD telah beberapa kali menyoroti perlunya pemerintah meningkatkan anggaran sektor kebencanaan, terutama untuk wilayah pesisir hingga kawasan pemukiman padat yang rentan longsor dan banjir.
Jika kondisi anggaran tidak diperbaiki, program mitigasi kemungkinan besar akan berjalan lambat. Dampaknya, risiko korban dan kerugian pada setiap bencana bisa tetap tinggi.
Pernyataan Edy Susanto memberikan gambaran bahwa BPBD berusaha memperkuat kapasitas masyarakat dan SDM internal, namun terbatasnya anggaran membuat langkah mitigasi tidak dapat dilakukan secara optimal.
Dengan kondisi geografis Bandar Lampung yang rawan bencana, pemerintah daerah perlu melihat bahwa mitigasi bukan beban anggaran, melainkan investasi keselamatan publik.
Tanpa penguatan anggaran mitigasi dan pemasangan EWS yang memadai, Kota Bandar Lampung akan terus berada dalam posisi rentan ketika bencana datang secara tiba-tiba.