Secara hukum perdata di Indonesia, utang jasa profesional termasuk dalam kategori perikatan yang bisa ditagih.
Berdasarkan Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hak menuntut suatu perikatan akan kadaluarsa setelah lewat 30 tahun, kecuali ada aturan khusus yang menyebutkan sebaliknya. Artinya, secara teori, Raden Nuh masih memiliki waktu hukum untuk menagih honor tersebut.
Namun, persoalan menjadi rumit ketika tidak ada bukti tertulis atau perjanjian formal yang dapat diajukan di pengadilan. Tanpa dokumen perjanjian, tuntutan tersebut sulit dibuktikan dan berpotensi ditolak.
Selain itu, dari sisi moral dan profesional, banyak kalangan hukum menilai bahwa menagih honor setelah lebih dari satu dekade bukan langkah yang ideal, terlebih jika kedua pihak sudah melanjutkan kehidupan masing-masing tanpa konflik.
BACA JUGA:6 Artis Indonesia yang Berhasil Turunkan Berat Badan dengan Intermittent Fasting
Bukan Soal Uang, Tapi Soal Etika dan Penghargaan
Meski nilainya tidak seberapa dibanding kekayaan Raffi Ahmad saat ini, kasus ini mencerminkan isu klasik dalam hubungan profesional: soal penghargaan dan etika kerja. Raden Nuh tampak tidak mencari sensasi atau keuntungan pribadi, melainkan hanya ingin menyampaikan bahwa jasa profesional semestinya dihargai dengan pantas.
Sementara itu, pihak Raffi Ahmad sendiri hingga kini belum memberikan tanggapan resmi terkait pernyataan tersebut. Publik pun diharapkan bijak dalam menanggapi isu ini, mengingat perkara ini sudah berlangsung lama dan tidak berpotensi berujung ke jalur hukum.
Dengan demikian, meski sempat muncul wacana gugatan, Raffi Ahmad tidak dalam posisi terancam secara hukum. Raden Nuh sudah menegaskan bahwa ia tidak akan menggugat, dan menganggap urusan tersebut sudah selesai dari sisi pribadi maupun etika.
Yang tersisa kini hanyalah pelajaran penting tentang pentingnya menjaga profesionalisme dan menghormati perjanjian, sekecil apa pun nilainya. (*)