Namun Numfor bukan hanya tentang keindahan alam. Pulau ini juga menyimpan catatan sejarah penting. Pada masa Perang Dunia II, kawasan ini pernah menjadi lokasi strategis militer.
Sisa-sisa peninggalan perang berupa landasan pesawat, parit perlindungan, hingga pondasi bangunan tua masih terlihat hingga kini.
Sebagian area sudah beralih fungsi menjadi lapangan umum yang digunakan warga.
Saat berkunjung, pengunjung diimbau untuk tetap menjaga etika: tidak memindahkan benda lama, tidak mengorek tanah, dan menghormati area yang dianggap sakral.
BACA JUGA:Gunung Lompobattang Sinjai: Wisata Alam Baru yang Jadi Permata Sulawesi Selatan
Hidup masyarakat Numfor berdenyut mengikuti irama laut. Sebagian besar warga berprofesi sebagai nelayan, berangkat sejak pagi buta dan kembali menjelang sore dengan hasil tangkapan.
Di daratan, warga menggarap kebun keladi, singkong, atau tanaman lokal lain.
Soal kuliner, lidah wisatawan bisa dimanjakan dengan papeda ditemani ikan kuah kuning, ikan bakar segar, hingga kangkung pantai yang ditumis sederhana.
Di beberapa kesempatan, warga juga menampilkan musik tradisional dan tari-tarian yang bisa dinikmati bersama.
BACA JUGA:Air Terjun Sipiso-piso, Pesona Alam Menjulang di Tanah Karo
Aktivitas wisata di Numfor beragam. Snorkeling tentu jadi kegiatan utama. Selain itu, wisatawan bisa mencoba freediving, menjelajahi pulau-pulau kecil di sekitarnya dengan perahu nelayan, atau sekadar birdwatching pada pagi hari.
Kawasan hutan di sekitar pantai menjadi habitat burung endemik Papua yang menarik untuk diamati.
Menyusuri hutan mangrove dan padang lamun juga menyenangkan, apalagi jika didampingi pemandu lokal.
Bagi yang gemar sejarah, menelusuri jejak peninggalan Perang Dunia II bisa menjadi pengalaman berbeda.
BACA JUGA:Serunya Menyusuri Sungai Banjarmasin dengan Kelotok
Jika waktunya terbatas, tiga hari dua malam sudah cukup untuk menikmati sisi utama Numfor.