
Yang makin memperuncing situasi, adalah dugaan keterlibatan Bupati Pesawaran petahana, Dendi Ramadhona, yang juga suami dari Calon Bupati Nomor Urut 2.
Pemohon menilai keberpihakan struktur pemerintahan kepada Paslon 2 sudah terlalu mencolok, menciptakan ketidakseimbangan dalam kontestasi demokratis yang seharusnya netral dan adil.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah membatalkan hasil penetapan suara KPU Kabupaten Pesawaran sebagaimana tertuang dalam Keputusan Nomor 625 Tahun 2025, sekaligus mendiskualifikasi Paslon 2.
Selain itu, mereka menuntut agar Paslon Supriyanto-Suriansyah ditetapkan sebagai pemenang Pilkada oleh KPU tanpa harus melalui pemungutan suara ulang kembali.
BACA JUGA:Lima Anak Usaha Terseret Kasus CPO, Wilmar Kembalikan Dana Rp11,8 Triliun
Situasi ini menguak berbagai dimensi persoalan dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terutama menyangkut netralitas penggunaan dana publik.
Gugatan ini tidak sekadar mempersoalkan hasil, tetapi juga menyuarakan pentingnya integritas dan keadilan dalam proses demokrasi lokal.
Jika MK mengabulkan gugatan ini, hal tersebut bisa menjadi preseden penting dalam pemberantasan politik uang dan penyalahgunaan dana aspirasi yang selama ini kerap terjadi di bawah radar.
Apalagi dalam era keterbukaan dan pengawasan publik seperti saat ini, setiap tindakan yang mencederai proses demokrasi harus ditindak dengan tegas dan transparan.
BACA JUGA:Kejagung Sita Rp 11,8 Triliun dari Wilmar Group Terkait Kasus Ekspor CPO
Perkara ini menunggu putusan final dari Mahkamah Konstitusi, namun sudah menjadi sorotan publik sebagai contoh bagaimana kekuasaan dan program-program legislatif dapat dengan mudah diselewengkan untuk meraih simpati politik, jika tidak dikontrol secara ketat.
Maka dari itu, penting untuk terus mengedepankan etika politik dan menjaga integritas pemilu sebagai wujud penghormatan terhadap demokrasi yang sehat dan adil.