Mata air ini sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Sawai sejak lama, dijaga dengan penuh tanggung jawab sebagai sumber kehidupan bersama.
Sejarah panjang Sawai menjadi daya tarik tersendiri. Meski tak tercatat secara resmi dalam dokumen sejarah, warga setempat meyakini bahwa desa ini didirikan oleh para pedagang Arab jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Pengaruh budaya Arab masih sangat terasa hingga kini—dari musik gambus yang kerap dimainkan warga, pakaian gamis yang dikenakan, hingga ciri fisik penduduk yang banyak memiliki wajah mirip keturunan Timur Tengah.
Kebudayaan yang berakar dari masa lalu itu tercermin pula dari keberadaan masjid besar di pusat desa.
Masjid tersebut menjadi tempat ibadah utama bagi seluruh warga dan menjadi simbol kuat identitas keislaman masyarakat Sawai.
Bangunan rumah warga pun memperlihatkan perpaduan arsitektur khas Arab dan Eropa, meski beberapa sudah tampak menua karena keterbatasan perawatan.
Perjalanan kami berakhir di dermaga desa, tempat para nelayan menambatkan perahu dan menurunkan hasil tangkapan.
Di sana, anak-anak bermain air tanpa canggung. Mereka melompat ke laut dari dermaga dengan gaya akrobatik yang memukau.
Dari yang masih kecil hingga remaja, semua terlihat lincah dan riang. Suasana penuh tawa dan kebahagiaan menjadi penutup manis dari kunjungan kami.
Sawai bukan sekadar desa tua yang sarat sejarah. Ia adalah potret masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan, namun penuh kehangatan dan kebersamaan.
Desa ini menawarkan pelajaran tentang bagaimana manusia bisa hidup berdampingan dengan alam dan warisan budaya leluhur, tanpa kehilangan jati dirinya. Sebuah tempat yang membuktikan bahwa kebahagiaan sejati bisa ditemukan dalam kehidupan yang sederhana, namun bermakna.(*)