Meski betina jarang terlihat langsung dalam duel, kehadirannya tercium melalui feromon. Itu cukup memicu pertarungan antarjantan.
Dari data yang terkumpul, duel ini hanya terjadi pada musim kawin dan selalu melibatkan jantan dengan ukuran tubuh yang seimbang, yakni sekitar 3,5 hingga lebih dari 4 meter.
Gaya bertarung mereka lebih mirip olahraga gulat. Pejantan yang mampu menundukkan kepala lawannya dinyatakan sebagai pemenang.
Ular yang kalah tidak mengalami luka, melainkan mundur karena kalah dalam simbol dominasi.
BACA JUGA:Manfaat Es Batu untuk Wajah dan Risiko yang Perlu Diperhatikan
Namun, jika terjadi perbedaan ukuran tubuh yang signifikan, duel bisa berubah tragis.
Pejantan yang jauh lebih kecil bisa menjadi mangsa, karena king kobra memang dikenal sebagai pemakan sesama ular.
Meskipun duel ini tak berdarah, perjuangan tetap melelahkan. Dua tubuh besar bergulat di bawah panas hutan selama lebih dari setengah jam.
Ironisnya, ancaman justru datang dari manusia. Ketika pertarungan terjadi dekat pemukiman atau jalur pendakian, ular kerap disalahartikan sebagai ancaman dan dibunuh sebelum sempat menyelesaikan ritus alamnya.
BACA JUGA:Begadang dan Dampaknya terhadap Kesehatan Kulit Wajah
“Inilah pentingnya pelestarian habitat alami, tanpa gangguan manusia, ritual ini bisa berlangsung sempurna. Bahkan ular yang kalah pun punya kesempatan untuk mencoba lagi, di tempat dan waktu berbeda,” kata Jones.
Dari pertarungan king kobra, kita belajar bahwa makhluk mematikan sekalipun punya batasan dan kehormatan.
Mereka memilih tidak menggunakan senjata andalan demi sesuatu yang lebih besar dari kekuasaan—keberlanjutan hidup.
Jika suatu hari Anda berada di hutan dan melihat dua ular besar saling membelit tanpa suara, jangan panik. Mungkin Anda sedang menyaksikan salah satu pertunjukan cinta paling langka di alam liar.