Latihan ini dianggap oleh Korut sebagai persiapan untuk agresi, memicu kemarahan lebih lanjut di kalangan otoritas Korut.
Militer Korut, Tentara Rakyat Korea Utara (KPA), sejak saat itu memperkuat garis perbatasan dengan unit artileri, ranjau darat, dan penghalang fisik lainnya.
Sebelum meledakkan jalan Gyeongui dan Donghae, Korut juga telah mengancam untuk memutuskan semua jalur jalan dan rel kereta antar-Korea.
Tindakan ini menjadi salah satu upaya Korut untuk sepenuhnya mengisolasi dirinya dari Korsel, mengakhiri sedikit pencairan hubungan yang sempat terjadi selama kepemimpinan mantan Presiden Korsel, Moon Jae-in.
Korsel dan Korut secara teknis masih berada dalam status perang sejak 1953, karena Perang Korea berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.
Meskipun pada masa kepemimpinan Presiden Moon terjadi dialog dan diplomasi yang lebih terbuka antara kedua negara, situasi berubah drastis setelah Presiden Yoon Suk-yeol yang lebih konservatif terpilih pada 2022.
Sejak saat itu, Korut kembali mendefinisikan Korsel sebagai musuh.
Langkah-langkah keras yang diambil oleh kedua negara, termasuk pemutusan jalur jalan, latihan militer, dan penerbangan drone, semakin mempersulit kemungkinan dialog di masa depan.