Trunyan, Desa Mistis di Bali yang Menyimpan Wangi Kematian
Bukit Trunyan - Foto instagram @suryaxdinata--
MEDIALAMPUNG.CO.ID - Di lereng timur Gunung Abang, di tepi tenang Danau Batur, terdapat sebuah desa tua yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk pariwisata Bali.
Namanya Desa Trunyan, sebuah tempat yang menyimpan kisah menakjubkan tentang kehidupan, kematian, dan harmoni manusia dengan alam.
Bagi sebagian orang, Trunyan identik dengan kisah pemakaman yang tak lazim. Di sini, jenazah tidak dikubur atau dikremasi seperti di tempat lain, melainkan diletakkan begitu saja di atas tanah, di bawah rindangnya pohon Taru Menyan.
Anehnya, tak sedikit pun aroma tak sedap tercium. Masyarakat percaya pohon tersebut mengeluarkan wangi alami yang menetralkan bau tubuh yang membusuk. Dari kata “Taru” yang berarti pohon dan “Menyan” yang berarti harum, lahirlah nama desa ini: Trunyan.
BACA JUGA:Air Terjun Gitgit, Pesona Alam Sejuk di Jantung Bali Utara
Perjalanan menuju desa ini dimulai dari Pelabuhan Kedisan, sekitar 65 kilometer dari Denpasar. Dari sana, perahu kayu bermesin membawa wisatawan menyeberangi Danau Batur yang dikelilingi dinding kaldera purba.
Airnya tenang, udara sejuk, dan kabut tipis sering turun, menciptakan suasana mistis seolah membawa pengunjung ke dunia lain.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, perahu merapat di dermaga kecil. Rumah-rumah penduduk tampak sederhana, berdiri di bawah bayang-bayang bukit hijau.
Desa ini seolah berhenti di masa lalu — jauh dari modernitas Bali Selatan yang gemerlap. Penduduknya ramah, berbicara dalam dialek kuno Bali Aga, dan hidup dengan tata adat yang diwariskan dari nenek moyang mereka.
BACA JUGA:Empat Kota Seru untuk Liburan Akhir Tahun
Daya tarik utama Trunyan ada di Sema Wayah, area pemakaman tua yang menjadi ikon budaya desa ini. Untuk mencapainya, pengunjung harus menaiki perahu kecil menembus heningnya danau.
Di lokasi itu, di bawah pohon Taru Menyan yang besar, tampak sejumlah jenazah yang dibiarkan berbaring di atas tanah dan dilindungi anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ancak saji.
Meski bagi wisatawan pemandangan itu bisa terasa ganjil, bagi masyarakat Trunyan, ritual ini adalah bentuk penghormatan terakhir bagi mereka yang wafat secara wajar.
Tubuh dikembalikan ke bumi tanpa dikubur agar tetap menyatu dengan alam, sementara roh diyakini menuju alam suci.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:





