Menelusuri Tradisi Bali Aga di Desa Tenganan Pegringsingan

Menelusuri Tradisi Bali Aga di Desa Tenganan Pegringsingan

Tradisi Mekare-kare: Simbol Keberanian Salah satu ritual adat paling terkenal dari Tenganan adalah mekare-kare atau perang pandan, yang digelar setiap tahun dalam upacara keagamaan besar bernama Ngusaba Sambah. Foto:Instagram@halopejati--

MEDIALAMPUNG.CO.ID - Di timur Pulau Bali, terdapat sebuah desa adat yang hingga kini masih mempertahankan gaya hidup masa lampau. 

Desa itu adalah Tenganan Pegringsingan, bagian dari kelompok masyarakat Bali Aga—yaitu penduduk Bali kuno yang tetap menjaga tatanan adat dan tradisi warisan leluhur sebelum masuknya pengaruh luar.

Tenganan bukan hanya dikenal karena keunikannya dalam menjaga nilai budaya, tetapi juga karena tradisi dan kerajinan tangan yang khas. 

Keunikan itu membuat desa ini menjadi salah satu pusat pelestarian budaya Bali yang penting.

BACA JUGA:Tenun Gringsing: Kain Sakral yang Menenun Nilai Kehidupan dari Bali

Berbeda dengan sebagian besar masyarakat Bali modern yang telah terpengaruh sistem kerajaan Hindu Majapahit, masyarakat Tenganan tetap berpegang teguh pada aturan adat turun-temurun. 

Setiap warga mengikuti sistem yang tertata rapi dalam kehidupan sosial, hukum adat, serta kegiatan spiritual mereka.

Hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam sekitar menjadi tiga pilar utama dalam kehidupan mereka. 

Hal ini tercermin dari cara warga menjaga keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling membantu, menjaga kebersihan desa, serta menghormati alam.

BACA JUGA:Manik Angkeran dan Asal Mula Selat Bali

Rumah-rumah penduduk dibangun dengan arsitektur tradisional yang menghadap ke arah tertentu sesuai aturan desa, membentuk pola teratur yang mencerminkan keteraturan hidup masyarakatnya.

Tenganan dikenal luas sebagai satu-satunya penghasil kain Gringsing di Indonesia. Kain ini dibuat dengan teknik ikat ganda, yaitu proses penenunan di mana benang lungsi dan pakan diwarnai terlebih dahulu sebelum ditenun. 

Teknik ini sangat rumit dan memerlukan waktu panjang, bahkan bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan sehelai kain.

Gringsing berasal dari kata “gring” (sakit) dan “sing” (tidak), yang berarti penolak bala. Oleh karena itu, kain ini diyakini memiliki kekuatan spiritual dan digunakan dalam berbagai upacara penting.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: