Berapa Banyak Daging yang Masih Ramah Lingkungan untuk Dikonsumsi?

Berapa Banyak Daging yang Masih Ramah Lingkungan untuk Dikonsumsi?

Membatasi konsumsi daging bisa menjadi langkah krusial untuk menjaga keseimbangan ekologis Bumi. - Foto Freepik.--

MEDIALAMPUNG.CO.ID – Penelitian terbaru menunjukkan bahwa membatasi konsumsi daging menjadi langkah krusial untuk menjaga keseimbangan ekologis Bumi. 

Namun, seberapa banyak konsumsi daging yang masih dianggap aman?

Jawaban ini diungkapkan dalam studi yang dirilis di jurnal Nature Food oleh tim peneliti dari Technical University of Denmark (DTU). 

Menurut hasil penelitian tersebut, konsumsi ayam atau daging babi sebaiknya dibatasi maksimal 255 gram per minggu, atau sekitar 9 ons. 

BACA JUGA:Pulau Kubur Lampung: Keindahan Tersembunyi yang Menawarkan Ketenangan Alam

Jumlah ini dianggap sebagai batas aman yang tidak membebani kemampuan Bumi dalam memulihkan sumber dayanya.

Namun, konsumsi daging merah seperti sapi dan domba menjadi perhatian khusus. 

Caroline H. Gebara, peneliti utama studi ini, menyatakan bahwa bahkan dalam jumlah moderat, konsumsi daging merah sudah melampaui ambang keberlanjutan lingkungan.

"Perhitungan kami menunjukkan bahwa bahkan sedikit konsumsi daging merah tidak selaras dengan kapasitas regeneratif planet ini," ujar Gebara.

BACA JUGA:Lamak Bana! 10 Lauk Nasi Padang yang Paling Nikmat, Favoritmu yang Mana?

Mengapa Daging Merusak Lingkungan?

Industri peternakan, khususnya produksi daging sapi, memerlukan sumber daya yang sangat besar, termasuk lahan, air, dan pakan ternak. 

Selain itu, hewan ternak menghasilkan emisi gas rumah kaca yang memperparah perubahan iklim.

Sapi, misalnya, menghasilkan metana — gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dibandingkan karbon dioksida — melalui proses pencernaannya. 

Menurut laporan FAO, sektor peternakan menyumbang sekitar 14,5% emisi gas rumah kaca global, dengan daging sapi sebagai penyumbang terbesar.

Studi lain dari jurnal Science (Poore & Nemecek, 2018) menemukan bahwa setiap kilogram daging sapi menghasilkan sekitar 60 kilogram emisi CO2-ekivalen, jauh lebih tinggi dibandingkan ayam (6 kilogram) dan kacang-kacangan (0,25 kilogram).

BACA JUGA:OJK Tetap Optimistis Meski Bank Dunia Pangkas Proyeksi Ekonomi RI

Konsumsi Lahan, Air, dan Dampaknya

Produksi daging sapi juga mendominasi penggunaan lahan pertanian global. Sekitar 80% lahan digunakan untuk peternakan dan pakan ternak, namun hanya menyumbang kurang dari 20% asupan kalori manusia.

Deforestasi, khususnya di kawasan Amazon, kerap dikaitkan dengan ekspansi lahan penggembalaan sapi. 

Dari sisi penggunaan air, dibutuhkan lebih dari 15.000 liter air untuk memproduksi satu kilogram daging sapi, dibandingkan dengan hanya 1.600 liter air untuk menghasilkan satu kilogram gandum.

Selain itu, peternakan skala besar berpotensi mencemari air tanah dan air permukaan, memperparah kerusakan ekosistem lokal.

BACA JUGA:Mental Breakdown: Tanda-tanda, Penyebab dan Cara Mengatasinya

Diet Berkelanjutan: Apa Pilihannya?

Peneliti DTU menganalisis lebih dari 100.000 variasi pola makan dari 11 jenis diet berbeda, dengan mempertimbangkan emisi karbon, penggunaan air, lahan, dan dampak terhadap kesehatan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pola makan berbasis daging merah sulit untuk memenuhi batas aman lingkungan. Sebaliknya, diet pescatarian (berbasis ikan), vegetarian, atau vegan dinilai jauh lebih berkelanjutan.

Meski begitu, Gebara menegaskan bahwa diet ramah lingkungan tidak harus ekstrem.

"Kombinasi yang seimbang seperti vegetarian yang masih mengonsumsi produk susu atau telur tetap menjadi pilihan baik. Yang penting adalah menjaga proporsi dan menyadari dampaknya," jelasnya.

BACA JUGA:Tujuh Manfaat Jinten bagi Kesehatan Tubuh

Perubahan dari Atas dan Bawah

Studi ini menyimpulkan bahwa kebutuhan gizi global tetap dapat dipenuhi tanpa melanggar batas lingkungan, asalkan ada perubahan besar baik di tingkat sistemik maupun individu.

Di tingkat internasional, dibutuhkan kebijakan yang mendorong transisi menuju pangan berkelanjutan. 

Sementara itu, di tingkat individu, masyarakat perlu mendapatkan panduan yang jelas agar dapat membuat keputusan makan yang lebih bijak.

"Perubahan sistemik harus dimulai dari pemerintah dan industri, tetapi konsumen juga memainkan peran penting. Panduan praktis dan dukungan struktural akan sangat membantu dalam proses transisi ini," tutup Gebara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: