Banjir Bandar Lampung: Bencana Kebijakan yang Direstui Pelanggaran Struktural

Banjir Bandar Lampung: Bencana Kebijakan yang Direstui Pelanggaran Struktural

M. Faizzi Ardhitara – Ketua Bidang Litbang IWO Provinsi Lampung --

Pembangunan tanpa visi lingkungan telah menjadi dosa utama tata ruang Bandar Lampung. Alih fungsi lahan hijau menjadi perumahan dan kawasan bisnis terjadi secara masif, sering kali tanpa kajian AMDAL yang memadai. Ironisnya, alih fungsi ini kerap mendapat “pemutihan” lewat kebijakan yang justru memberikan legalitas pada praktik pelanggaran tata ruang.

Solusi sebenarnya telah berkali-kali disebut, namun gagal dilaksanakan karena lemahnya political will. Berikut adalah langkah konkret yang tak bisa lagi ditunda:

1. Audit dan Desain Ulang Drainase Berbasis Risiko. Libatkan perguruan tinggi dan konsultan independen untuk memetakan ulang seluruh sistem drainase kota dan menentukan titik rawan utama.

2. Moratorium Izin Bangunan di Zona Resapan. Hentikan semua pemberian izin pembangunan di zona sempadan sungai, hutan kota, dan lahan hijau hingga revisi RTRW yang berpihak pada lingkungan disahkan.

3. Penegakan Hukum terhadap Pelanggar Tata Ruang. Bongkar bangunan yang melanggar sempadan sungai dan proses hukum pejabat yang terbukti memfasilitasi pelanggaran melalui dokumen palsu atau izin bermasalah.

4. Normalisasi Sungai dengan Partisipasi Warga. Program restorasi sungai harus melibatkan komunitas lokal, LSM lingkungan, dan dilakukan dengan pendekatan ilmiah, bukan sekadar pengerukan sesaat.

5. Integrasi Pendidikan Lingkungan ke Kurikulum dan Komunitas. Jadikan pendidikan lingkungan bagian dari kurikulum sekolah dan program RT/RW, termasuk membentuk kader lingkungan yang aktif di setiap kelurahan.

6. Transparansi Anggaran dan Mekanisme Laporan Warga. Tingkatkan anggaran lingkungan minimal 5% dari APBD dan buka akses pelaporan daring, agar masyarakat bisa mengawasi proyek drainase dan sungai secara real time.

Bandar Lampung sedang menuju kehancuran ekologis jika kebijakan tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada lagi waktu untuk saling lempar tanggung jawab. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang dijalankan, bukan sekadar tertulis.

Kita tidak butuh pemimpin yang hanya pandai menyusun siaran pers saat banjir datang. Kita butuh keberanian moral, ketegasan hukum, dan visi lingkungan yang kuat. Karena bencana ini bukan datang dari langit, tapi dari pilihan-pilihan buruk yang kita buat di bumi. Tabik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: