Aliansi Sukapura Menggugat, Undang Seluruh Elemen Bangun PGRT

Aliansi Sukapura Menggugat, Undang Seluruh Elemen Bangun PGRT

Medialampung.co.id - Rabu (11/11) Aliansi Sukapura Menggugat, (SM) tergabung dari mahasiswa Kabupaten Lampung Barat peduli Pekon Sukapura, Kecamatan Sumberjaya mengundang seluruh elemen masyarakat tanah air untuk hadir duduk Bersama rakyat dan seluruh aliansi dan jaringan di wilayah Indonesia untuk menyerukan dan membangun Persatuan Gerakan Rakyat Tertindas (PGRT). 

Salah satu penggerak Aliansi Sukapura Mengugat, Romi Cahyadi, menjabarkan, sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat 

Pekon (Desa) Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Pekon itu  lahir dan berkembang melalui program Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) dimana 1951-1952 sebanyak 250 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 680 jiwa  dari wilayah Jawa Barat, persisnya Kabupaten Tasikmalaya ditransmigrasikan oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno yang pada saat itu hadir dan turut serta meresmikan daerah ini dan diberi nama Sumberjaya pada tanggal 14 November 1952.

Sekarang sudah 68 tahun lamanya sekitar 500 KK berdiam dan menetap. Berbagai fasilitas umum telah dibangun seperti Sekolah Dasar, tempat Olahraga, masjid dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) telah berdiri kokoh, tentunya ini sebagai bentuk wilayah desa  statusnya sudah diakui keberadaan serta kedudukannya. 

Diceritakannya waktu terus berjalan pergantian kepemimpinan Orde Lama kemudian digantikan Orde Baru arah serta kebijakan Negara mengalami banyak sekali perubahan, dari yang fasis hingga otoriter salah satunya berdampak pada daerah ini.

Pemerintah Orde Baru melakukan penataan ulang tanah pada Tahun 1991 melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tetapi kebijakan tidaklah selamanya berarti bijak karena saat ini sebagian wilayah Desa sekitar 309 Ha justru masuk dalam Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. 

Tidak berhenti disitu Operasi Jagawana ll melalui SK Gubernur No.G/052/1996 Tanggal 12 Februari hingga 13 Maret tahun 1996 berupa pemusnahan 2.500 Ha, pengusiran penduduk tani, dan penggusuran paksa perkebunan kopi secara represif. 

Peristiwa operasi Jagawana bukan hanya persoalan kejahatan kemanusiaan tetapi merupakan kejahatan HAM yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa pada waktu itu. 

Bertentangan dengan Ketentuan Pembukaan UUD 1945 alenia pertama berbunyi Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Maka bisa dipastikan bahwa tindakan represif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru pada waktu itu tidak dibenarkan dengan alasan apapun.

Tidak segan-segan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Polisi Kehutanan menggunakan Gajah yang terlatih diperalat untuk menggusur paksa tanam kopi dan mengusir petani dengan dalih bahwa kaum tani tidak berhak menanam dan menetap di daerah kawasan hutan. 

Maka dari itu perlu diperjelas 'mereka' bukan perambah hutan secara administratif RT/RW mereka sudah resmi ditetapkan oleh BRN Tahun 1951.

Operasi itu akan terus mendarah daging menjadi suatu ingatan bagi rakyat Sukapura, sebagai api yang di percikan oleh kekejaman rezim yang berkuasa pada waktu itu, api yang akan terus menerus hidup.

Para Pejuang Veteran 45 yang masih ada tidak akan pernah berhenti menggaungkan ingatannya untuk anak cucu sebagai generasi penerus. 

Konflik agraria di kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari tidak jelasnya tata batas desa dengan kawasan hutan, klaim sepihak hutan negara, hingga masalah pembentukan Perum Perhutani.

Masalah-masalah tersebut dipicu atau difasilitasi oleh regulasi terkait kehutanan. Konflik yang awal mulanya disebabkan oleh Rezim Otoritarian Orde Baru bermula pada tahun 1991 melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK, Yang tidak sama sekali melibatkan partisipasi rakyat, menjadi catatan penting bagi perjuangan yang hingga saat ini masih berlanjut.  

Lahirnya UU 41/1999 tentang Kehutanan misalnya, yang menghidupkan kembali asas domein verklaring(pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya maka tanah itu adalah milik Negara) sehingga memungkinkan klaim sepihak negara melalui penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan yang berakibat pada penghilangan hak-hak rakyat. Konstitusi Negara RI tahun 1945 Pasal 28H ayat (1) menyebutkan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan". 

Peristiwa yang terjadi di Permukiman Desa Sukapura Kec. SumberJaya, Kabupaten Lampung Barat, merupakan gambaran nyata bagaimana Negara memperlakukan masyarakatnya sebagai terisolir di tanah airnya sendiri, kini sebanyak. 500 KK hidup dalam ketakutan karena tanah sebagai sumber untuk penghidupannya terancam dirampas.

Konstitusi Negara RI tahun 1945 padahal secara normatif sudah menjamin hak hak dasar seperti yang berbunyi pada Pasal 28H ayat (1) menyebutkan "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".

Pemerintahan Jokowi pada periode pertama telah menjanjikan pelaksanaan Reforma Agraria dalam kerangka menata ulang struktur agraria dan menyelesaikan beragam konflik agraria yang terjadi. 

Lebih lanjut, janji Reforma Agraria tersebut diterjemahkan dalam teknokrasi kebijakan RPJMN sebagai dua skema besar, yakni dilakukan melalui skema redistribusi tanah dan legalisasi tanah, dengan target luasan masing-masing 4,5 juta hektar.

Program unggulannya adalah Perhutanan Sosial (PS) untuk menyelesaikan masalah tenurial (merujuk pada kandungan atau hakikat dari hak dan jaminan atas hak) di kawasan hutan atau meningkatkan tarap ekonomi rakyat, lewat pemberian akses kelola hutan negara bukanlah sebuah solusi ataupun jawaban bagi tanah Sukapura kerana tanah Sukapura bukan lah hutan belantara berbagai Fasilitas Umum telah berdiri kokoh seperti yang tersebut diatas. 

Kebijakan KLHK, dalam penanganan konflik agraria diurus dengan Permen LHK No.84/2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan. Peraturan ini mengatur mengenai proses mediasi dan penegakan hukum. Namun permen ini tidak mengatur tentang rekomendasi pelepasan kawasan hutan yang jelas, sebaliknya lebih detail mengatur resolusi konflik melalui pilihan kemitraan dan perhutanan sosial.  

Perhutanan sosial juga cara melegalkan perubahan status tanah garapan dan pemukiman masyarakat menjadi kawasan hutan, tanpa proses penunjukan dan pengukuhan sebagaimana prosedur UU Kehutanan, Bagaimana mungkin wilayah yang sudah menjadi desa, wilayah mukim, tanah garapan, fasilitas umum-sosial disahkan sebagai kawasan hutan melalui program Perhutanan Sosial. 

Sertifikasi tanpa merombak ketimpangan struktur penguasaan tanah justru melegalkan ketimpangan yang telah ada. Dalam mekanisme pelepasan kawasan hutan, cara pandang lama yang tetap dipakai Kementerian LHK adalah melihat hutan lebih pada statusnya (legalistik), bukan pada aspek fungsi ekologisnya, apalagi secara objektif melihat pada kenyataan di lapangan.

Akibatnya, meski fakta lapangannya sudah menjadi desa, pemukiman, lahan garapan produktif masyarakat berupa tanah pertanian dan kebun rakyat, status hukumnya tetap diklaim sebagai kawasan hutan.      

Bagi rakyat Sukapura, tanah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena tanah dan perkebunan kopi merupakan peninggalan leluhur mereka yang harus dijaga dan dirawat yang merupakan mata pencaharian pokok untuk menunjang kehidupan. (rin/mlo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: