Salah satu kekayaan budaya yang terkenal adalah tenun Muna. Kain ini memiliki motif geometris dan warna cerah, dikerjakan secara manual dengan teknik tradisional.
Di sisi lain, terdapat pula tradisi Karia, sebuah upacara peralihan bagi anak perempuan menuju kedewasaan, serta tradisi Poma, yaitu gotong royong dalam membangun rumah atau membuka lahan pertanian.
BACA JUGA:Malioboro, Ikon Abadi Yogyakarta yang Menyatukan Sejarah
Dalam bidang seni, tarian tradisional seperti Tari Lense dan Tari Balumpa masih kerap dipentaskan, terutama saat festival budaya.
Gerakan tarian ini mencerminkan kehidupan masyarakat pesisir yang erat dengan laut dan alam sekitarnya.
Agar perjalanan lebih nyaman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat berkunjung ke Pulau Muna.
Waktu terbaik adalah pada musim kemarau, sekitar Mei hingga September, ketika cuaca cerah dan ombak relatif tenang.
BACA JUGA:Malioboro, Ikon Abadi Yogyakarta yang Menyatukan Sejarah
Wisatawan disarankan menggunakan jasa pemandu lokal untuk menjelajahi gua dan wilayah terpencil. Karena mesin ATM masih terbatas, bawalah uang tunai secukupnya.
Bagi penggemar petualangan, membawa perlengkapan snorkeling maupun peralatan trekking akan sangat menunjang kegiatan.
Yang tidak kalah penting, selalu menghormati budaya setempat ketika berinteraksi dengan masyarakat, khususnya di pedesaan.
Pulau Muna menghadirkan perpaduan harmonis antara keindahan alam, sejarah kuno, dan budaya lokal yang hidup hingga kini.
BACA JUGA:Tebing Breksi, Pesona Alam dari Tanah Sleman Yogyakarta
Setiap sudutnya menawarkan kisah menarik, mulai dari gua prasejarah, pantai menawan, hingga tradisi masyarakat yang penuh makna.
Mengunjungi Muna bukan hanya soal menikmati panorama, tetapi juga menyelami cara hidup masyarakat yang selaras dengan alam.
Pulau ini memberikan pengalaman yang menenangkan sekaligus menginspirasi, menjadikannya salah satu surga tersembunyi Indonesia yang pantas mendapat perhatian lebih luas.(*)