
Dahlan Iskan adalah Jawa Pos [2]
Oleh: Dr. Tantan Hermansah (Ketua Program Magister Komunikasi & Penyiaran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Satu peristiwa menarik perhatian publik media beberapa waktu ini. Bukan karena berita besar. Tapi karena sebuah langkah hukum dari internal sebuah media besar terhadap tokoh yang sangat lekat dengan sejarahnya.
Nama lembaganya: Jawa Pos. Bukan soal siapa yang benar. Bukan soal siapa yang menang. Tapi ini soal cara. Soal bagaimana institusi media menangani perbedaan dan konflik di dalam rumahnya sendiri.
Ketika media menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan persoalan internal yang bersifat sejarah dan relasi, itu bukan sekadar langkah hukum. Itu langkah yang sarat risiko. Bukan hanya risiko hukum. Tapi risiko reputasi. Risiko kehilangan simpati publik. Risiko kehilangan kepercayaan.
Karena publik tak hanya melihat substansi perkara. Publik juga membaca tanda. Dan media, sepanjang sejarahnya, bukan hanya kumpulan berita—ia adalah tanda. Ia adalah simbol nilai. Tempat bertemunya kepercayaan dan informasi.
Itulah kenapa langkah menyeret nama yang sudah menjadi bagian dari narasi media ke jalur polisi bisa menimbulkan guncangan. Bukan hanya ke dalam. Tapi juga ke luar. Ke mata publik. Ke hati para pembacanya.
Persoalannya bukan pada legal atau ilegal. Tapi pada etika dan cara. Di mana media seharusnya menjadi ruang dialog. Menyelesaikan perbedaan dengan kepala dingin. Bukan dengan saling tuding di ruang publik yang gaduh.
Banyak institusi tumbuh besar karena menjaga cerita baiknya. Bukan karena selalu sempurna. Tapi karena tahu kapan harus memelihara warisan dan kapan harus membuka ruang perbaikan.
Media adalah lembaga yang menjaga demokrasi. Tapi ia juga harus menjaga dirinya sendiri. Jangan sampai, karena satu keputusan yang terburu-buru, justru mengguncang bangunan yang sudah lama disusun.
Kita semua tahu, media dibangun bukan hanya oleh angka dan laporan keuangan. Tapi oleh semangat. Oleh perjuangan. Oleh cerita panjang yang ditulis oleh banyak orang, dari banyak generasi.
Menyeret satu bab dari cerita itu ke jalur hukum, tanpa upaya mediasi yang terbuka, adalah risiko besar. Karena yang terguncang bukan hanya sosok. Tapi institusi. Reputasi. Kredibilitas yang dibangun bertahun-tahun.
Dalam dunia media, citra bukanlah milik satu orang. Tapi milik semua yang pernah menulis, menyunting, dan membaca. Maka, ketika lembaga memutus silaturahmi dengan sejarahnya sendiri, yang rusak bukan hanya satu nama—tapi seluruh ekosistem nilai di dalamnya.
Masih ada banyak jalan yang lebih arif. Mediasi. Audit independen. Forum etik. Ruang dialog terbuka bersama tokoh-tokoh pers. Semua itu lebih baik daripada membawa persoalan ke ranah yang bisa mencederai rasa hormat.