
Wayang Timplong umumnya membawakan kisah Panji dari kerajaan Jawa kuno—Jenggala, Kediri, hingga Majapahit.
Beberapa judul cerita yang populer antara lain Panji Asmorobangun, Babad Kediri, Panji Laras Miring, dan Dewi Sekartaji.
Dalam lakonnya, terkadang dalang juga menambahkan cerita rakyat terkini atau sejarah lokal, agar lebih relevan bagi penonton modern.
Pertunjukan melibatkan sekitar 70 figur boneka, namun tokoh pentingnya hanya beberapa, seperti Panji, Sekartaji, dan Kilisuci.
BACA JUGA:Legenda Terbentuknya Telaga Sarangan
Punakawan hanya terdiri dari dua karakter—Kedrah dan Gethik Miri—berbeda dengan wayang kulit yang memiliki lebih banyak pelawak.
Berbeda dari kesenian wayang lain yang memiliki banyak dalang keturunan turun-temurun, tradisi Wayang Timplong hanya diwariskan melalui garis sempit.
Dari Mbah Bancol kepada Darto Dono, lalu ke Ki Karto Jiwul, Ki Tawar, Ki Gondo Maelan, dan beberapa penerus seperti Ki Talam, Ki Jikan.
Namun sejak Ki Gondo Maelan, tidak ada pewaris darah langsung, melainkan penerus yang bukan keturunan asli.
BACA JUGA:Rumah Adat Jawa Timur: Ragam, Fungsi, dan Makna Budayanya
Wayang Timplong mengalami puncak popularitas pada dekade 1970–80-an. Namun seiring waktu, pamornya meredup.
Faktor utamanya adalah terbatasnya regenerasi dalang, kurangnya atraksi visual, serta manajemen pertunjukan yang belum profesional.
Pemerintah Kabupaten Nganjuk pernah mengundang anggota Pepadi pada 2018 untuk merancang strategi revitalisasi lewat PPKD, mencakup pengemasan cerita, penyelenggaraan reguler, dan edukasi ke sekolah, maupun promosi lewat media digital.
Kini, Wayang Timplong hanya dipentaskan dalam acara ritual seperti ruwatan, bersih desa, tolak bala, atau memenuhi nadzar.
BACA JUGA:Reog Ponorogo: Simbol Kearifan Lokal yang Mendunia
Dalang juga membawa sesaji sebelum pagelaran, berupa buah, nasi tumpeng, hingga lauk seperti tempe, ayam, dan jajanan tradisional — sebagai persembahan dan ungkapan harapan agar pertunjukan berjalan lancar.