
Pada titik ini kehadiran pers digital yang seharusnya juga selaras dengan pertumbuhan demokrasi, malah mematikan demokrasi.
Sadar atau tidak, mungkin ini mendekatkan kita ke doktrin komunis China. Biarkanlah semua warna bunga (teratai) boleh tumbuh, tapi nanti hanya bunga (teratai) hitam saja yang dibiarkan bertahan berkembang.
Lainnya dibabat dan dikondisikan tidak tumbuh. Setelah membiarkan banyak pers digital lahir, Perpres berlaku sebagai mata pisau yang “memotong” sebagian besar pers digital dan membiarkan segelintir yang hidup sehingga kelak mudah dikendalikan.
BACA JUGA:Bandar Narkoba Diduga Tewas Dianiaya Polisi, 7 Oknum Anggota Polda Metro Jaya Ditahan
Dari sini nyata terlihat, rancangan Perpres yang amat bertentangan dengan UU Pers yang membangun dunia jurnalistik yang independen, bermutu, mandiri dan swaregulasi.
Itulah amanah reformasi. Amanat untuk menjadikan Indonesia lebih demokrasi. Kalau kemudian rancangan Perpres disahkan isinya boleh disebut menghianati UU Pers karena anti demokrasi.
Ketimbang mengurusi pers sebaiknya pemerintah cq Kominfo lebih baik mengurus hal yang memerlukan fokus dan perhatian.
Misalnya coba agar pembangunan BTS benar-benar terwujud tanpa korupsi sehingga seluruh desa benar-benar dapat menikmati internet. Bukan malah “cawe-cawe“ urusan pers yang menjadi tanggung jawab pers. (*)