Kisah Status Legalitas Tanah Pekon Sukapura 

Senin 09-11-2020,13:14 WIB
Editor : Budi Setiyawan

Medialampung.co.id - Generasi kedua dan ketiga Pejuang Siliwangi yang berdomisili di Pekon Sukapura, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat (Lambar) kembali mengulas kehadirannya di tanah Sumberjaya.

Peringatan kembali tersebut sebagai perjuangan tuntutan legalitas tanah yang hingga kini belum diberikan pemerintah. 

Berikut ceritanya, Pada 1951-1952 x-laskar pejuang 45 (Pejuang Siliwangi) Program transmigrasi itu bertujuan untuk memberikan harapan penghidupan yang lebih layak untuk mantan pejuang 45 yang ikut serta memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sukapura lahir melalui program Biro Rekonstruksi Nasional (BRN), sebanyak 250 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 680 jiwa dari Wilayah Jawa Barat, yakni Kabupaten Tasikmalaya ditransmigrasikan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Soekarno sendiri yang hadir langsung meresmikan daerah ini tanggal 14 November 1952.

Sudah 68 tahun lamanya hingga sekarang sekitar ± 500 KK bermukim, tentunya sebagai bentuk desa yang sudah diakui keberadaan serta kedudukannya berbagai fasilitas umum telah berdiri kokoh seperti Sekolah Dasar, tempat Olahraga, masjid dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Sebagai bentuk desa yang sudah diakui keberadaan serta kedudukannya

Waktu terus berjalan pergantian kepemimpinan Orde Lama kemudian digantikan Orde Baru arah serta kebijakan Negara mengalami banyak sekali perubahan, ada yang berdampak baik ada pula yang berdampak buruk, dari yang fasis hingga otoriter, yang salah satunya berdampak kepada wilayah (Desa) Sukapura. 

Pemerintah Orde Baru melakukan penataan ulang tanah pada Tahun 1991 melalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Tetapi kebijakan tidaklah selamanya berarti bijak karena saat ini sebagian wilayah (Desa) justru masuk dalam Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.

Klaim pemerintah Orde Baru menjadikan wilayah ini tidak memiliki status kepastian hukum legalitas atas tanah, Padahal selama 68 Tahun silam warga sudah bertempat tinggal dan menetap di daerah tersebut bagi warga setempat. 

"Kebijakan ini sama sekali tidak berpihak untuk kami yang sudah bertempat tinggal sekaligus menetap disini justru malah berlaku sebaliknya, mengancam garis keturunan anak dan cucu serta sumber penghidupan kami," ungkap Erik Dirgahayu generasi kedua. 

Tanah adalah suatu yang menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, dalam menjamin kehidupannya, manusia selalu berkaitan dengan dengan tanah, mulai dari tanah sebagai tempat tinggalnya, tempat usahanya, maupun ketika manusia meninggal selalu berkaitan dengan tanah. 

Tanah menjadi suatu hal yang sangat berharga untuk keberlangsungan hidup. Sehingga secara ekstrim bisa dikatakan tanpa tanah manusia tidak akan bisa hidup. Masalah tanah adalah soal hidup dan penghidupan bagi manusia karena tanah adalah sumber makanan untuk menunjang dari pada kehidupan manusia itu sendiri.

Masalah perebutan tanah merupakan masalah perebutan sumber makanan, untuk itu orang ataupun badan hukum akan rela berjuang menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk bertahan dalam kehidupan yang selanjutnya.

Berbagai upaya jalur hukum baik sudah dilakukan bahkan Kementerian meminta bentuk dokumen riwayat tanah itupun sudah dituruti oleh masyarakat Sukapura. Masyarakat sudah mengajukan gugatan dengan bukti-bukti, dokumen, riwayat kepemilikan atas tanahnya yang isinya menjelaskan struktur kepemilikan tanah.

Artinya hal itu sudah suatu keharusan untuk diakui kebenarannya, tetapi hingga saat ini hasilnya masih nihil, tidak ada kejelasan mengenai kepastian mengenai apa yang seharusnya menjadi hak para pejuang dan keturunannya belum sama sekali diberikan. 

Maka dari itu Rakyat Sukapura menyelenggarakan Webinar dengan tema “68 Tahun Menetap Sukapura Tetap Tidak Dianggap” untuk mengajak publik khususnya warga rakyat Sukapura untuk terus mengobarkan api perlawanan. (rls/rin/mlo)

Tags :
Kategori :

Terkait