Upacara Keagamaan dan Religi di Era Majapahit: Harmoni antara Hindu dan Buddha
ILUSTRASI: Harmoni antara Hindu dan Buddha di Majapahit memberikan pelajaran berharga bagi kehidupan beragama di Indonesia. -Foto Instagram@land_of_buddhism-
BACA JUGA:Prasasti Batu Tulis Desa Wangkal: Saksi Bisu Kejayaan Majapahit di Probolinggo
Candi sebagai Pusat Spiritual dan Simbol Kosmos
Candi pada masa Majapahit tidak sekadar bangunan megah, tetapi juga memiliki makna religius mendalam. Candi-candi seperti Penataran, Sukuh, Tikus, Jawi, dan Trowulan berfungsi sebagai tempat pemujaan sekaligus pusat kegiatan keagamaan. Di tempat-tempat ini, masyarakat melakukan upacara persembahan kepada dewa-dewa seperti Siwa, Wisnu, Brahma, serta kepada Buddha dan Bodhisattva.
Struktur candi menggambarkan konsep kosmos menurut kepercayaan Hindu-Buddha, di mana bagian bawah melambangkan dunia manusia (bhurloka), bagian tengah dunia para dewa (bhuvarloka), dan bagian atas melambangkan dunia spiritual tertinggi (svarloka).
Melalui arsitektur ini, masyarakat Majapahit mengekspresikan keyakinan bahwa manusia dapat mencapai pencerahan dengan menjaga keseimbangan antara dunia material dan spiritual.
BACA JUGA:Sumur Jobong, Peninggalan Majapahit yang Masih Terjaga di Surabaya
Ritual Pertanian dan Kesuburan
Sebagai masyarakat agraris, kehidupan Majapahit sangat bergantung pada hasil bumi. Oleh karena itu, upacara pertanian dan kesuburan menjadi bagian penting dari kegiatan keagamaan. Persembahan biasanya ditujukan kepada Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan, yang dianggap sebagai pelindung tanaman dan sumber kesejahteraan rakyat.
Selain Dewi Sri, masyarakat juga menghormati roh-roh penjaga alam, sungai, dan gunung. Ritual ini dilakukan dengan harapan agar alam memberikan hasil panen yang melimpah dan terhindar dari bencana.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat membawa sesajen, bunga, dan hasil bumi sebagai simbol rasa syukur. Upacara ini juga memperkuat nilai gotong royong dan solidaritas sosial di antara warga desa.
BACA JUGA:Budaya Majapahit yang Masih Hidup Hingga Kini
Perayaan Hari Raya Keagamaan
Majapahit mengenal berbagai perayaan keagamaan yang menjadi bagian dari kehidupan spiritual dan sosial. Beberapa di antaranya adalah Galungan, Kuningan, Siwaratri, Pagerwesi, dan Waisak. Walaupun bentuknya tidak sama seperti perayaan modern di Bali atau tempat lain saat ini, esensinya tetap sama, yaitu untuk memperingati kemenangan dharma (kebaikan) atas adharma (kejahatan) dan memperkokoh hubungan manusia dengan dewa serta sesama.
Dalam perayaan tersebut, masyarakat mengadakan pentas seni, tari-tarian, dan drama ritual yang menggambarkan kisah dewa-dewi atau legenda kerajaan.
Rumah dan pura dihiasi dengan janur, dupa dibakar sebagai lambang kesucian, dan sesaji disusun rapi sebagai bentuk rasa hormat kepada kekuatan ilahi. Kegiatan ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga mempererat ikatan sosial antar warga.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:





