'Nah Kan…'

'Nah Kan…'

--

PENANGKAPAN oleh KPK terhadap sejumlah pimpinan Universitas Lampung (Unila), termasuk sang Rektor Prof. Dr.  Karomani, Sabtu 20 Agustus 2022 lalu, sangat mengejutkan saya. 

Namun yang lebih mengejutkan adalah, berbagai komentar sejumlah pejabat, politisi, pengusaha. Bahkan mahasiswa Unila sendiri. 

“Nah, kan,” begitulah inti komentar itu.

Saya memahami, kalimat Nah, kan itu menggambarkan bahwa penangkapan tersebut sudah diprediksi. Setidaknya, sudah bukan berita yang mengagetkan. 

Dan puncaknya, adanya sejumlah karangan bunga yang sempat terlihat di kantor rektorat. Ungkapan suka cita, sang rektor ditangkap KPK. 

Seorang kepala daerah yang saya beritahu via WA soal penangkapan itu, menjawab sangat singkat. “Tuh kan.” 

Memang kebetulan 3 hari sebelum penangkapan terjadi, saya dan 2 rekan lain, sempat membahas soal Bang Aom ini. Selain Bang Aom saya kerap menyapa Karomani dengan sebutan Bang Prof. 

Disusul komentar seorang pejabat eselon II yang menghubungi saya via telepon. 

...

“Soal pungutan itu terutama di Fakultas Kedokteran, memang sudah menjadi rahasia umum.”

Sungguh saya tak tahu rahasia umum itu. Sempat dengar-dengar juga. Namun tak sedahsyat yang diungkapkan pejabat ini. Sehingga KPK mesti turun tangan.

Masih banyak komen lain yang sebagian besar menyatakan penangkapan itu memang pantas terjadi. Soal penyebab Aom ini ditangkap dan kini ditahan bersama pejabat Unila lainnya, tentu Anda sudah tahu. 

Berita ini kan, terus menjadi topik hangat berbagai media online dan televisi nasional. Jadi tak perlu saya ceritakan lagi.

Pulang ke rumah, saya pun bertanya pada anak saya yang juga alumni Unila. 

“Wajarlah la yah. Jangan-jangan itu uang UKT kami yang diambil buat bangun rumah megah itu”.

Rupanya soal penangkapan itu juga sudah menjadi hot topik di kalangan mahasiswa dan alumni.

Lalu, anak saya meluruskan pernyataannya itu. “Itu yah, komen yang masuk ke instagram anaknya Pak Rektor.”  

Oh, ternyata komen netizen lebih dahsyat. Jadi sangat wajar, akhirnya sang anak rektor yang juga masih kuliah di Unila itu, menutup fitur komentar instagramnya. 

Pastilah komen anak saya tersebut tidak benar. Sebab UKT (Uang Kuliah Tunggal) itu masuk ke rekening resmi Unila. 

Rupanya itu sekadar ungkapan kekesalan mereka. Sebab Prof. Karomani yang saat itu menjabat rektor, tidak mengabulkan gugatan mereka agar UKT dikurangi selama masa pandemi Covid-19 dulu.

Pada hari pertama penangkapan, pandangan saya terhadap Aom tetap tidak berubah. Geser sedikit. Tapi tak begitu banyak. 

Bahkan saya masih mengirimkan WA ke HP Bang Aom. Isinya, menyatakan bahwa saya masih tak yakin Aom terlibat dalam kasus suap menyuap itu. 

WA saya sempat masuk 2 kali. Meski sudah contang 2. Namun tidak juga contang biru hingga hari ini.

Di beberapa grup WA saya juga menberikan komen yang isinya berupa doa agar Bang Aom dinyatakan tidak terlibat. Kemudian dilepas KPK. Banyak juga yang membalasnya dengan kata Aamiin.

...

Hari Sabtu itu saya memang seharian di rumah saja. Saya menyimak perkembangan penangkapan Aom melalui berbagai media online dan juga siaran televisi.

Eh, secara kebetulan saya melihat tayangan Unila TV. Siaran televisi komunitas milik Unila yang memang dapat ditonton secara jelas melalui TV siaran digital.

Sekitar pukul 13.45 WIB itu, Unila TV menayangkan wawancara Aom. Kebetulan tema yang diangkat adalah tentang petingnya sikap dan integritas moral seorang pemimpin. Karena menarik, maka siaran itu saya videokan dengan ponsel.

Saya terkesima dengan pernyataan Aom saat itu. “Seorang pemimpin harus sudah selesai degan urusan dirinya sendiri”.

Dia katakan, di keluarganya masih ada yang membutuhkan pekerjaan. 

“Tapi saya kumpulkan mereka. Saya katakan jangan ada di antara kalian meminta pekerjaan atau apapun ke saya. Ya sudah selesai. Jadi kita selesaikan dengan keluarga kita. Jangan sampai mengganggu kinerja kita. Apalagi menyuburkan KKN. Tidak boleh. Itu mengganggu institusi kita,” ujar Aom. 

Keren kan.

Saya tidak tahu kenapa program itu tetap ditayangkan saat Aom ditangkap KPK. Bisa jadi, itu sudah program yang terjadwal. Atau bisa jadi wawancara itu disiarkan berulang-ulang setiap harinya.

Kembali ke “Nah kan”,  jadi sangat beralasan pada hari pertama penangkapan itu, saya masih menganggap kalimat “Nah kan” itu berlebihan. 

Namun saat KPK membeberkan barang bukti berupa uang tunai, deposito dan emas batangan, kadar berlebihan itu jauh menurun. Ternyata, ini soal uang besar. Bukan uang receh. 

Apalagi saat KPK menjelaskan keterlibatan aktif Bang Aom. Saya mulai yakin memang Aom terlibat jauh dalam skandal suap  itu. 

Ternyata, Aom lah yang menjadi pengendali dari skandal itu. Mirip mirip Sambo gitu.

WA yang masuk ke HP saya kian banyak saja. Bahkan, bikin saya kaget lagi, jumlah uang suap untuk masuk ke Fakultas Kedokteran Unila  melalui jalur mandiri itu, besarannya ada mencapai Rp 1 miliar.

“Masa sih sebesar itu,” ujar saya. 

“Iya bang. Saya dengar langsung 1 M itu,” tegasnya. 

...

Menyimak apa yang diungkapkan KPK, uang suap itu antara Rp 100 juta sampai Rp 350 juta per orang.  

Itu di luar uang SPI (Sumbangan Partisipasi Infratruktur) yang jumlahnya minimal Rp 250 juta.  Uang itu disetorkan ke rekening resmi Unila sebagai penerimaan bukan pajak.

Saat ini baru 1 orang yang diamankan oleh KPK selaku penyuap. Yakni, Andi Desfiandi.  Saya mengenal baik sosok itu. 

Sama-sama di DPD Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Provinsi Lampung. Di Apindo dia menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan. Dan, saya menjabat ketuanya.

Saya mengenal Bang Andi sosok yang baik. Dari cerita adiknya, saya mendapat penjelasan, keterlibatannya dalam kasus itu karena ingin membantu saudaranya masuk di Fakultas Kedokteran Unila melalui jalur mandiri. Ia, menurut KPK memberikan uang ke Aom Rp 150 juta. Jumlah terkecil yang disebut KPK. 

Jika kita merujuk pada barang bukti berupa uang, deposito, emas batangan yang nilainya mencapai Rp 4,4 miliar dipastikan pemberi uang seperti Bang Andi ini cukup banyak. 

Setidaknya bisa mencapai belasan orang. 

Jadi sangat logis kalau KPK menyatakan kasus ini bakal menyeret tersangka lain. 

Bisa jadi jumlahya mencapai belasan orang. Kita tunggu saja apakah jumlahnya mengalahkan kasus Sambo. Nah, kan. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: