Fluktuasi Harga Tomat di Lambar Persoalan Klasik Minim Solusi

Fluktuasi Harga Tomat di Lambar Persoalan Klasik Minim Solusi

Medialampung.co.id – Baru-baru ini, salah satu akun gosip @Lambe_turah yang memiliki 10,2 juta pengikut di Instagram memposting salah video berdurasi 23 detik, yang disertai dengan keterangan yang menunjukkan adanya masyarakat yang disebut-sebut berlokasi di Pekon Sebarus Kecamatan Balikbukit Kabupaten Lampung Barat, hasil panen tomat dibuang di pinggir jalan lantaran harga jual yang anjlok.

Hingga 21 jam pasca di upload, video tersebut telah disukai oleh sekitar 136.833, dengan ragam komentar yang mencapai 3.629, yang tidak sedikit yang menyayangkan adanya masyarakat yang membuang hasil panen, padahal harga jual di tingkat pasar saat ini cukup tinggi.

Fluktuasi harga jual tomat di Lambar sebenarnya merupakan masalah klasik yang hampir terjadi setiap tahun dan hingga saat ini belum ada solusi dalam mengatasi persoalan tersebut. 

Pemerintah daerah sendiri telah melakukan berbagai upaya, namun kembali lagi pada pasar, dimana ketika stok berlimpah harga akan anjlok. Belum lagi banyak petani yang bergantung modal yang diberikan tengkulak dimana saat panen harga jual ditetapkan oleh tengkulak.

Kepala Dinas Koperasi UKM Perindustrian dan Perdagangan (Diskoperindag) Lambar Tri Umaryani membenarkan bahwa saat ini harga jual tomat di tingkat petani sedang anjlok hanya sekitar Rp600 per kilogram. 

Hal ini yang memicu adanya petani membuang hasil panennya, karena biaya tidak sesuai dengan hasil yang didapat.

”Iya, untuk fluktuasi harga jual tomat ini sebenarnya sudah sering kali terjadi, kadang harga anjlok tetapi tidak jarang harga jualnya juga menguntungkan petani, jadi tidak terjadi secara terus menerus, soal adanya petani yang membuang hasil panennya karena harga sedang anjlok tentunya kami sangat menyayangkan,” ungkap Tri Umaryani, Minggu (27/3).

Ia menduga, anjloknya harga jual yang terjadi saat ini, itu karena stok yang berlimpah, artinya dalam persoalan ini, solusi harus dimulai dari hulu, dimana saat proses pemilihan produk yang akan ditanam itu melihat terlebih dahulu potensi yang ada.

”Misalkan, saat petani akan menanam jenis tomat, harus melihat wilayah sekitarnya terlebih dahulu, atau daerah lain yang yang sama-sama penghasil produk sayur-mayur, ketika semua menanam tomat maka ada potensi besar harga jual saat panen akan anjlok, karena sudah jadi hukum pasar, ketika stok berlimpah maka harga akan turun,” ujarnya.

Ia juga melihat, bahwa rantai niaga petani cukup jauh, sehingga pihaknya berharap kedepan para petani hortikultura di Lambar bisa mengakses pasar secara mandiri, tanpa harus bergantung pada tengkulak.

”Seperti yang terjadi saat ini, harga jual di tingkat petani anjlok, sementara di pasaran itu masih normal, ini masalahnya dimana? harus kita carikan solusi bersama, dan kami melihat masalahnya karena rantai niaga yang terlalu jauh, jadi petani harus bisa mengakses pasarnya sendiri,” kata dia seraya menambahkan, bahwa ia berharap kedepan petani bisa membentuk asosiasi petani sayur, untuk mempermudah akses pemasaran.

Selain itu, Tri Umaryani juga tidak menampik bahwa banyak petani yang bergantung pada modal yang dipinjamkan oleh para tengkulak yang dibayar saat panen. Hal ini sekaligus mengingat para petani untuk menjual hasil panennya kepada tengkulak yang menyediakan modal.

”Untuk masalah ini, sebenarnya sudah ada solusi, melalui berbagai program pemerintah, seperti dana KUR, BLUD, dan melalui peminjaman dana di koperasi, sehingga petani bisa independent dalam menentukan harga pasar, tidak lagi bergantung pada pada ketetapan harga dari para tengkulak,” ujarnya.

Ia menambahkan, petani juga harus terus meningkatkan kualitas hasil panen, termasuk mengurangi penggunaan pestisida, sehingga hasil panen bisa lebih diminati oleh pasar. Kemudian saat harga anjlok, yang tidak memungkinkan untuk dijual karena tidak sesuai dengan modal, khususnya biaya panen dan pembelian kotak, maka pihaknya mengimbau masyarakat bisa memanfaatkannya untuk dibuat pupuk kompos, atau diolah menjadi makanan seperti dodol sehingga tidak menjadi mubazir. 

”Kemudian, masyarakat juga diharapkan saling membantu untuk memasarkan hasil panen dari keluarga atau tetangganya,” tutup Tri Umaryani. (nop/mlo)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: