Dua Buku
Oleh : Dahlan Iskan
Donald Trump tidak pusing dengan dua buku baru ini.
Atau pusing.
Dua-duanya menyerang karakter presiden Amerika Serikat itu. Yang satu ditulis oleh mantan penasihat keamanan Gedung Putih, John Bolton. Satunya lagi ditulis oleh keponakannya sendiri Mary L. Trump.
Dua-duanya terbit dalam waktu berdekatan. Akhir Juni 2020 ini --lima bulan sebelum pilpres.
Dua-duanya sedang dicegah agar jangan sampai terbit. Dengan segala cara --pilpres sudah begitu dekat.
Tentu Trump menyerang balik dua buku itu. ”Ia itu gila,” ujar Trump tentang John Bolton, mantan penasehatnya itu. ”Maunya tiap hari menjatuhkan bom,” tambah Trump.
Bolton memang kecewa pada Trump. Yang tidak jadi menyerang Korea Utara --seperti yang sudah dikoarkannya.
Trump, kata Bolton, justru bertemu Kim Jong-un. Sampai tiga kali. Bahkan sampai ke perbatasan Korut-Korsel --dan Trump mau diajak Kim menginjakkan kaki beberapa menit di tanah Korut.
”Semua itu hanya untuk satu tujuan, agar Trump bisa mejeng di media seluruh dunia,” tulis Bolton. ”Semua langkah Trump itu motifnya agar ia terpilih kembali,” ujar Bolton.
Menurut pria berkumis tebal dan panjang ini, tidak ada langkah Trump yang motifnya untuk negara dan bangsa. Semua untuk pencitraan, agar kembali terpilih.
Termasuk ketika sempat-sempatnya Trump mejeng di depan gereja itu. Dengan kitab Injil diacungkan tangan kanannya itu. Padahal ibu kota lagi tegang. Demo terbesar sedang mendekati Gedung Putih.
Bolton juga kecewa Trump membatalkan serangan ke Iran. Padahal Amerika sudah dihinakan. Drone Amerika dijatuhkan Iran.
Semula Trump sudah setuju. Persiapan penyerangan pun dilakukan. Sudah tinggal memberi komando: serbu!
Di detik terakhir Trump membatalkannya.
Trump tidak kehabisan bahan untuk menyerang siapa saja. Termasuk menyerang karakter. ”Bolton itu orang yang tidak pernah tersenyum dalam hidupnya,” ujar Trump. ”Pernahkah kalian lihat ia tersenyum? Biar pun hanya sekali?” serang Trump lagi.
Masih kata Trump: Bolton itu tidak bisa bekerja. Ia juga tidak pinter. Tidak cemerlang.
Begitulah Trump. Ketika mengangkatnya dulu Bolton dipuji-puji. Sekarang dijatuhkan habis.
Bolton bilang, dirinya mengundurkan diri karena tidak cocok dengan sang presiden.
Trump bilang Bolton itu ia pecat.
Perang kata dan tulisan belum reda. ”Perbedaan antara Joe Biden dan Trump itu jelas,” ujar Bolton mengenai dua Capres itu. ”Biden punya wawasan. Trump tidak sama sekali,” kata Bolton.
Kini saya lagi menunggu dengan senyum-senyum: serangan seperti apa yang akan dilancarkan pada keponakannya sendiri nanti.
Sang keponakan, Mary L. Trump, adalah seorang doktor ahli jiwa. Usianyi 55 tahun.
Judul bukunyi sangat ”sexy”: ”Berlebihan dan Tidak Pernah Merasa Cukup”. Dari sub-judulnya jelas ini soal konflik di keluarga besar Trump: ”Bagaimana Keluarga Kami Melahirkan Orang Paling Berbahaya di Dunia”.
Mary memang mendalami kasus-kasus kejiwaan. Dia pernah 6 tahun mempelajari pasien-pasien dengan kelainan schizophrenia. Pasien itu berobat di rumah sakit Hillside Hospital di Long Island, New York.
Apakah schizophrenia?
Saya kutipkan saja definisi schizophrenia dari kamus. Agar Anda bisa mengidentifikasi apakah gejala jiwa seperti itu cocok dengan Donald Trump. Atau tidak.
Tari tariklah dulu nafas. Kalimatnya sangat panjang: ”Schizophrenia adalah gangguan mental jangka panjang dari jenis yang melibatkan gangguan dalam hubungan antara pikiran, emosi, dan perilaku, yang mengarah ke persepsi yang salah, tindakan dan perasaan yang tidak pantas, menarik diri dari kenyataan dan hubungan pribadi ke dalam fantasi dan khayalan, dan rasa fragmentasi mental”.
Maafkan, begitulah kamus menulis. Panjang kalimatnya seperti kereta api pengangkut tebu. Saya sangat benci membacanya --meski sangat memerlukan isinya. Kalimat itu terdiri dari 45 kata. Jangan-jangan lebih. Tolong hitungkan yang benar.
Atau baiknya biar bung Yusuf Ridlo saja yang hitung. Kita kan lagi membahas soal penyakit jiwa --eh, soal bukunya Mary L. Trump.
Tentu saya harus menjelaskan dulu siapa Mary. Saya mulai dari kakeknyi.
Nama sang kakek: Fred Trump Sr. Ia pengusaha besar bidang real estate di New York.
Fred Sr. punya anak sulung bernama Fred Jr. dan adik-adiknya: Robert, Donald Trump.
Fred Jr. punya anak sulung perempuan. Namanya Mary. Mary inilah yang akan menerbitkan buku.
Anak keduanya laki-laki, diberi nama Fred III --cucu laki-laki pertama dari anak laki-laki pertama.
Ayah Mary meninggal muda: 42 tahun. Akibat terlalu banyak alkohol. Sang kakek justru baru meninggal 18 tahun kemudian --tahun 1999.
Mary dan Fred III merasa diperlakukan tidak fair: soal warisan Fred Sr. Padahal bapaknyi adalah anak pertama.
Kakak Donald sudah berusaha membungkam pena Mary. Lewat pemberian sejumlah uang.
Tapi Mary melihat pamannyi itu sangat rakus. Tidak pernah merasa cukup.
Awalnya Mary menghubungi harian New York Times. Dia memberikan dokumen-dokumen pajak Trump. Wartawan New York Times lantas membeberkan masalah pajak Trump. Gempar. Penulisnya sampai mendapat hadiah Pulitzer. Itulah penghargaan tertinggi bagi karya jurnalistik di Amerika.
Mary masih punya harta kartun lainnya: kerakusan Trump. Sampai mengorbankan hubungan keluarga.
Trump memang banyak akal. Baginya semua itu mudah. Termasuk cara menurunkan angka penderita Covid-19 dengan cepat. Itulah yang ia pidatokan secara resmi. Agar tidak malu lagi: jumlah penderita di Amerika sudah lebih 2,5 juta.
Bagaimana cara Trump menurunkan angka itu?
"Jangan lagi dilakukan tes," katanya di Oklahoma Sabtu lalu. (Dahlan Iskan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: