APBN Proyek
Oleh: Dahlan Iskan
ADA yang lebih menarik di balik pembentukan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia itu (Disway, 26 November). Yakni akan hilangnya pos biaya proyek di APBN. Setidaknya dimulai dari penurunan pos untuk proyek-proyek itu. Yang akhirnya bisa hilang sama sekali.
“Kelak APBN itu akan khusus untuk program pengentasan kemiskinan,” ujar Menko Kemaritiman dan Investasi itu kepada Disway.
Ide baru ini pasti akan memancing diskusi yang luas. Dan itu baik. Dari pada heboh-heboh politik terus. Saya sendiri terharu dengan diskusi SWF di komentar Disway tiga hari lalu itu. Sampai ada yang mengingatkan jangan sampai SWF kita nanti itu ujungnya seperti SWF-nya Malaysia –1MDB. Yang melahirkan kasus korupsi terbesar di dunia. Yang membuat Perdana Menteri Najib Razak sampai kalah pemilu dan kini lagi menghadapi proses hukum.
Tentu saya juga menyinggung itu ketika bertemu Jenderal Luhut Pandjaitan. “Pengawas SWF kita nanti adalah lembaga-lembaga internasional,” ujar Luhut. Itu karena sumber dana SWF kita juga berasal dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Mereka, tentu, baru mau menaruh uang kalau lembaga SWF kita kredibel.
Itulah sebabnya setelah berhasil mendapatkan komitmen dana Rp 28 triliun dari USIDFC Amerika, Luhut segera ke Jepang. Lalu ke Riyadh, Arab Saudi. Dan ke Uni Emirat Arab. Sebelum semua itu pun sudah pula ke Yunnan, Tiongkok. Tujuan utamanya, itu tadi, demi menghimpun dana untuk SWF. Luhut –dan bukan menteri keuangan– yang melakukan itu.
“Saya sampai biasa swab seminggu dua kali,” katanya. Padahal ketika ke Yunnan, misalnya, “tidak bisa ke mana-mana kecuali ke bandara-rapat-bandara”.
Amerika sendiri juga merestrukturisasi lembaga-lembaga bantuan asingnya. Terutama untuk mengimbangi meluasnya pengaruh Tiongkok di Asia. Semua lembaga Amerika itu kini dilebur ke satu badan bernama US International Development Finance Corporation (USIDFC). USAID termasuk yang melebur ke dalamnya. Lembaga inilah yang menjanjikan Rp 28 triliun ke SWF-nya Indonesia.
Biar pun sudah menjadi satu tetap saja kemampuan pendanaan USIDFC itu hanya senilai slilit dibanding dana yang disiapkan Tiongkok.
Apa pun Indonesia bisa menarik keuntungan dari persaingan AS-Tiongkok itu.
Jadi dugaan para komentator di Disway itu benar. SWF Indonesia –yang namanya belum diresmikan– beda dengan yang di negara lain. SWF mereka sumber dananya adalah ”kelebihan uang” mereka. Sedang kita masih selalu kekurangan uang. Maka SWF Indonesia nanti akan lebih banyak bersifat ‘memutar’ uang milik orang lain. Untuk kepentingan pembangunan proyek-proyek di Indonesia.
Pemilik dana itu umumnya sudah senang kalau bisa mendapat ”laba” 8 persen (dalam dolar). Padahal banyak proyek kita yang bisa memberikan keuntungan sampai 25 persen. Apalagi kalau sogok-menyogoknya hilang.
Itu berbeda dengan Temasek (atau GIC)-nya Singapura. Fokus GIC adalah terus mencari proyek yang labanya minimal 18 persen. Di mana pun proyek itu. Setelah dihitung konsekuensi risikonya.
Maka biasa saja kalau GIS juga melakukan jual beli saham. Ia membeli satu perusahaan ketika harga sahamnya masih naik terus. Tapi ia akan melepaskan perusahaan itu kalau tidak menguntungkan lagi.
Maka kemungkinan besar Temasek/GIC tidak akan tertarik untuk menaruh dana di SWF-nya Indonesia. Singapura akan merasa lebih jago dalam memutar uang. Daripada ‘dititipkan’ di SWF-nya Indonesia.
Kalau pembentukan SWF itu sukses maka kelihatannya itulah jalan menuju penurunan utang luar negeri. Ke depan tidak perlu lagi mencari utang untuk membiayai proyek besar. Hanya saja kita masih harus cari utang untuk membayar utang –dan bunganya.
Maka SWF juga berarti kendaraan untuk menuju APBN tanpa defisit.
Berarti postur APBN kita nanti tidak akan sebesar yang ada sekarang. Tapi lebih fokus untuk bayar utang, gaji pegawai, dan pengentasan kemiskinan.
Memang masih banyak bahan diskusi. Misalnya apakah pihak asing yang menaruh uang di SWF-nya Indonesia itu dijanjikan mendapat ”bunga” pasti. Yang dijamin oleh SWF plus pemerintah. Atau tingkat laba mereka mengikuti naik-turunnya laba proyek yang dibiayai.
Yang juga menarik adalah dampak ikutannya: proyek apa saja yang tendernya harus internasional. Dan perusahaan mana saja di pihak kita yang siap terjun di arena tender internasional itu.
Kalau soal besarnya ”laba proyek” saya optimistis akan sangat baik. Apalagi proyek-proyek SWF itu nanti harusnya bersih dari sosok-menyogok. Biaya proyeknya pasti lebih murah. Mestinya juga lebih murah, pun setelah dihitung naiknya biaya-biaya konsultan dan pengawas asing di segala tingkatan itu.
Rasanya ini memang dunia baru yang akan kita masuki. Dengan segala konsekuensinya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: