”KAU pimpin rapat, ya!” kata Bang Eel kepadaku. Aku terkejut. Dan spontan menolak.
”Wah, kan baru terima SK hari ini, Bang. Paling tidak abang umumkan dululah…” ”Kau umumkan sendirilah. Malas aku nanti ribut sama Jon,” kata Bang Eel. “Aku ada rapat sama orang percetakan. Sekarang,” katanya. Ia keluar kantor. Lalu dengan mobil kantor dia diantar ke Sagulung, tempat percetakan kami. Jaraknya lumayan jauh, seperti di sisi lain pulau ini. Itulah jarak yang tiap malam bolak-balik ditempuh oleh teman-teman pracetak, mengantar lembar film-film halaman koran, untuk dibikin pelat cetak dan kemudian masuk mesin cetak. Jarak itu pula yang ditempuh teman-teman percetakan dengan mobil boks bawa koran ke kota. Itu sebabnya, seperti kata Bang Eel, deadline adalah nabi kedua bagi orang koran. Di ruang rapat, anak-anak redaksi sudah menunggu. Termasuk Mas Jon. Saya berusaha keras menyusun kata-kata untuk membuka rapat sebaik mungkin. Apa yang harus kukatakan? Bagaimana harus mengatakannya? Ada beberapa wartawan senior selain Mas Jon, tandem dan mentor awalku di liputan lapangan, dan hari ini saya memimpin mereka dalam rapat redaksi. “Eel mana? Kok bukan dia yang mimpin rapat?” kata Jon, menggelegar, sebelum aku bicara. Soal rapat di percetakan itu aku sampaikan sebagai alasan, dan jawaban itu jadi pembuka yang mulus, pengantar pembuka rapat yang kusampaikan dengan lancar. Tak ada yang tampak terlalu kaget, beberapa spontan memberi ucapan selamat dan menyalamiku. Anak-anak desain bertanya soal apakah akan ada arahan dan kebijaksanaan desain baru, hal yang selama ini tak pernah dibicarakan, kata mereka. Saya merasakan hal yang sama, maka saya usulkan ada rapat khusus desain setiap minggu, dan rapat kecil khusus desain tiap hari, di luar rapat redaksi. Mereka tampak senang dan bersemangat. Merasa teperhatikan. Saya menganggap desain sangat penting, bukan sekadar asal ada judul dan gambar atau foto. Ada logika dalam setiap keputusan kenapa halaman koran harus dibuat seperti ini atau seperti itu. Dari divisi desain rasanya saya mendapat dukungan penuh dalam rapat pertama yang kupimpin itu. Tapi tidak di redaksi. Mas Jon langsung bertanya soal berita otopsi kehamilan Sandra yang sudah dia ributkan sejak sebelum rapat. Andai saja rapat ini dipimpin Bang Eel, saya tak perlu memikirkan bagaimana menjawab ini. Apa kulemparkan saja tanggung jawab itu ke Bang Eel? Tak enak juga rasanya. Tapi kesal juga, ketimpaan tanggungjawab yang seharusnya aku sendiri yang mempersoalkannya. Beginilah hidup itu, persoalan yang sama punya wajah yang berbeda apabila kita ada pada posisi yang lain. Apa ini yang dimaksud oleh Bang Ado sebagai peringatan untuk berhati-hati saa Bang Eel? Toh, aku tak bisa lagi mengelak dari keharusan menjawab soal itu. ”Mas Jon, begini kebijakan kita. Saya yang dapat info itu dari dokkes polresta, dan dia tak mau dikutip sebagai sumber. Saya juga minta ditunjukkan dokumen hasil otopsinya, mereka bilang tak bisa menunjukkan. Kalau koran kita memutuskan tak memberitakannya lebih ke bentuk kehati-hatian kita. Kita perlu verifikasi fakta itu. Kalau ada sumber resmi yang mau dikutip namanya sebagai sumber, kita naikkan…,” kata saya mencoba sebijak mungkin. ”Kamu jangan ajarin aku sual nulis berita, deh. Aku lebih pengalaman dari kamu, Dur! Itu keputusan Eel kan? Aku curiga sama dia, ndak usah kamu lindungi dia,” kata Mas Jon. ”Tadi malam kan masih dia yang mengedit berita halaman satu?” kata saya, dengan jawaban bersayap. ”Hari ini kita di lapangan diketawain orang, cuma kita yang tak memberitakan itu. Kamu tanya ini Yon. Iya kan, Yon?” kata Mas Jon. ”Iya, malu, kita. Bos!” kata Yon. Dia memanggil siapa saja dengan sapaan Bos. Yon dirotasi ke pos liputan kriminal menggantikan saya. Yon sebenarnya reporter yang masuk sedikit lebih dahulu daripada saya. Saat saya datang ke kantor ini dengan rekomendasi dari ”Suara Balikpapan” lowongan wartawan sudah terisi penuh. Rekomendasi dari koran anak sulung grup kami itu yang bikin Bang Eel dan Bang Ado mempertimbangkan hal lain dan menerima saya. Karena itu kepada dua orang ini saya punya semacam rasa berutang juga. Yon ngepos di liputan hiburan. Orangnya asyik. Modis dengan pakaian selalu dari brand terpilih. Rapi dengan model rambut yang secara berkala ia atur di salon. Tegak di atas dengan krim pengatur rambut. Suka nyanyi rock . Di kantor dia rocker andalan kami. Sambil ketik berita dia bisa teriak-teriak lagu Bon Jovi. Lebih kayak artis daripada wartawan. Kalau cari dia, carilah di kafe-kafe dengan homeband yang memainkan rock . Karaoke Abigail jelas bukan habitat dia. ”Jadi ini kelanjutan liputan Sandra gimana?” Mas Jon belum puas dan terus mencecar. Tampaknya dia punya rencana. ”Terus terang, aku curiga. Aku lihat kamu dan Eel semalam di Patron’s Café. Terus hari ini ada iklannya di koran kita. Itu kafe dari dulu aku lobi gak pernah mau pasang iklan di tempat kita. Apa ini ada hubungannya dengan sensor info kehamilan Sandra?” Tiba-tiba Bang Ado nongol, mendorong pintu rapat dengan selembar data laporan dari pemasaran. ”Dur, coba kalian bahas ini. Laporan teman-teman pemasaran. Retur jadi 30 persen. Tinggi sekali. Ini retur di hari-hari pertama kita terbit. Tak pernah terjadi selama kasus Sandra. Kalah kita sama koran lain,” katanya. Yon yang duduk dekat pintu berdiri ambil kertas yang disodorkan Bang Ado lalu serahkan ke saya. Saya kesal juga diserang terbuka di rapat yang pertama saya pimpin ini. Serangan dobel lagi. Belum kutangkis Bang Jon, ada lagi serangan lain dari Bang Ado, semua mengarah ke posisi saya saat ini. Saya membaca sekilas angka-angka itu, jam film selesai proses, pelat selesai, mulai cetak, selesai cetak, koran diterima agen, jumlah cetak, jumlah koran per agen dan pengecer, jumlah laku dan retur, serta persentasenya. Dengan perbandingan hari sebelumnya. Memang retur meningkat hampir di semua agen. Saya membaca sambil memikirkan apa jawaban dan langkah terbaik untuk tantangan ini. “Oke, kita kan sudah punya perencanaan liputan untuk seminggu ke depan. Sudah saya usulkan di rapat besar yang lalu. Masih ada catatannya di Mbak Mila. Nanti saya bagi tugas siapa yang harus liput isu yang mana. Mas Jon tak ikut dalam liputan untuk isu-isu yang sudah kita sepakati itu.” ”Lho, kok kami ngatur saya?” kata Mas Jon. ”Ini koordinasi tim redaksi, Mas Jon. Bukan ngatur Mas Jon. Silakan Mas Jon bikin berita kalau ada info lain di luar yang sudah kita rancang itu. Pasti ada, sumber-sumber Mas Jon kan banyak,” kata saya tegas tapi berusaha untuk tak terasa terlalu kasar. Hal-hal begini saya terlatih dalam munadarah di pesantren. ”Kita sudah hampir sebulan leading . Pasti bisa nemu sisi liputan yang lebih eksklusif lagi. Tugas kita hari ini bikin koran untuk balikin oplah laku seperti rata-rata minggu lalu. Retur di bawah 20 persen! Bahkan pernah lima persen saja. Dulu bisa. Masa gak bisa lagi…,” kata saya. Saya lanjutkan rapat dengan me- listing berita. Ada beberapa berita bagus. Dari pos Balai Kota dan DPRD ada berita rencana penerapan ”Perda Kependudukan” yang bakal mengatur keluar masuk penduduk dari dan ke kota pulau ini. Bakal rebut itu. Isu sensitif dan lezat bagi politisi-politisi lokal yang cari panggung. Beberapa kali sudah diangkat oleh ”Metro Kriminal”. Saya memfokuskan ke isu itu juga saat wawancara dengan Restu Suryono, pengacara dan politisi kharismatis itu. Saya ingat ada rencana bertemu dia terkait donasi untuk Panti Asuhan Abulyatama. Ada juga beberapa berita Yon, berita hiburan, artis yang bakal manggung di beberapa tempat hiburan di Batam. “Ada Cici Faramida di Noname besok. Kita dapat iklan kecil sama barter tiket,” kata Yon. ”Saya masih boleh liputan di hiburan ya?” ”Asal gak kecolongan di kriminal, Yon. Kalau bisa dapat wawancara sama Cici Faramida-nya ya, kita bikin satu halaman deh, isunya kan dia simpanan pejabat dari sini,” kata saya. Beberapa wartawan berebut usul mau wawancara. Ketegangan di ruang rapat mengendur. Mas Jon tampak kesal dan marah. Dia bilang hari itu dia tak ada berita. ”Mas Jon, habis ini kita ngobrol, ya….,” kata saya, tegas dan terukur. Tanpa menunggu jawaban dia, rapat saya tutup. Bang Ado kirim martabak dua kotak besar ke ruang rapat. Sebentar saja kotak martabak sudah kosong, tandas, ludes. (Hasan Aspahani - bersambung)