Wardah Sasmi

Senin 10-08-2020,06:29 WIB
Editor : Andry Nurmansyah

Oleh : Dahlan Iskan

Wow! Ternyata beliau bisa memakai lipstik! Modis pula. Pun kelihatan jauh lebih cantik dan muda. Di umur yang seperti saya. Itulah kesan pertama saya Sabtu pagi kemarin (8/8). Saya memang sudah dua tahun tidak bertemu Dr Nurhayati, pemilik grup Wardah.

Saya pun teringat pertemuan dua tahun lalu. Di Surabaya. Saat sama-sama menjadi pembicara seminar. Juga saat saya mengantar beliau ke stasiun kereta api.

Waktu itu tidak terlihat ada make-up sama sekali di wajahnyi. Dan ketika saya menyapukan pandangan ke kakinyi, ya ampun, sandalnya sangat sederhana. Sama sekali tidak terlihat sebagai bos besar –dari perusahaan kosmetik pula.

Ternyata kini banyak yang sudah berubah. Tampilan beliau menjadi begitu anggun. Tapi di pertemuan kali ini –meskipun hampir dua jam– saya tidak bisa melihat ke bawah: alas kaki apa yang kini beliau kenakan. Ini kan pertemuan di Zoom. Kameranya tidak bisa nakal. Zoominar ini diselenggarakan Jagaters untuk membahas buku baru tentang pendiri Wardah itu.

Sengaja kali ini saya tampilkan fotonyi. Lihatlah lipstik yang dikenakan. Perhatikan warna dan ketepatan ketebalannya. Begitu cantiknya. Lihatlah pula bajunyi. Betapa sasminya –maksud saya, anggunnya.

 
Lihat postingan ini di Instagram
  Saling Undang. Saya pernah mengundang Salman Subakat. Salah satu anak pendiri Wardah. Untuk bersama bos kopi Kapal Api, Sudomo, bicara di ulang tahun pertama DisWay (foto terakhir). Lalu saya diundang Wardah. Untuk acara tahunan mereka di Ancol. Sabtu lalu. Dihadiri 500 manajer Wardah. Dari seluruh Indonesia. Yang membuat saya iri: begitu muda-muda mereka. Begitu dinamis. Pantas saja Wardah begitu fenomenal kemajuannya. Saya jadi kenal seluruh keluarga pendiri Wardah: berfoto dengan sang ayah (Pak Subakat, berjaket krem) dan dua putranya. Dengan Pak Subakat dan Bu Nurhayati beserta satu-satunya putri. Saya memotret corporate culture Wardah di forum besar itu. Sambil belajar memperagakan logo Paragon. Perusahaan keluarga yang memproduksi Wardah. #dahlaniskan

Sebuah kiriman dibagikan oleh Dahlan Iskan (@dahlaniskan19) pada 24 Feb 2019 jam 7:14 PST

“Itu lipstik Wardah?” tanya saya di Zoominar itu –yang diikuti begitu banyak peserta. “Ya iyalah, Pak Dahlan,” jawabnyi sambil tersipu. Saya tahu jawaban itu. Tapi, naluri wartawan membuat saya harus menanyakannya.

“Kalau baju itu merek apa?” tanya saya lagi.

Beliau pun terlihat mengarahkan wajah dan mata ke baju itu. Mematut-matutkannya sebentar.

“Kok ini tidak ada mereknya ya,” gumamnyi. “Ini baju biasa saja kok, Pak. Tidak bermerek,” tambahnyi.

Kesimpulan saya: ternyata belum ada baju wanita merek Wardah.

Mungkin juga tidak akan ada. Atau akan ada. Saya merasa belum waktunya menanyakan itu. Mungkin itu pertanyaan 20 tahun yang akan datang. Sekarang Wardah masih harus berjuang lebih keras di bidangnya.

Masih harus berjuang?

Bukankah sudah nomor satu di Indonesia? Bahkan sudah empat tahun terakhir berturut-turut? Dengan pangsa pasar yang sudah di atas 30 persen? Kurang apa lagi? “Sampo Wardah belum berhasil. Masih kalah jauh dari sampo merek-merk asing,” ujar Dr Nurhayati.

Saya tidak perlu menulis lagi siapa Nurhayati dan bagaimana merintis Wardah.

Produk sampo itu memang anak bungsu di grup Wardah. Produk sampo itu masuk ke pasar ketika mata pesaing global sudah mulai melotot.

Di bidang kosmetik, Wardah memang mengejutkan produk global. Pasar mereka merosot di Indonesia. Bagaimana bisa Wardah mengalahkan mereka. Itulah topik bahasan di dunia marketing. Termasuk sampai menjadi bahasan di Harvard University.

Lalu produk global itu pun beraksi. Menyerang balik. Dengan kekuatan global mereka. Secara penuh. Termasuk memberikan diskon sampai 30 persen. Pun produk global itu sampai membuat produk baru yang masuk ke pasar emosional: muslimah.

Sudah tiga tahun Wardah dapat serangan balik seperti itu. Ternyata Wardah tetap kokoh. Posisi nomor 1 itu tidak bisa digeser. Sampai hari ini.

Salah satu kekuatan Wardah adalah: bisa membuat item lebih banyak dari produk global. Wardah kini punya lebih dari 800 items! Itu karena Wardah punya tim riset yang kuat. Ruang risetnya saja 2000 meter persegi. Latar belakang akademis pemiliknya membuat perhatian di bidang riset diutamakan.

Tentu juga karena struktur kepemilikan di Wardah begitu simple. Demikian juga struktur di manajemennya. Itu bisa membuat Wardah bergerak cepat ibarat sebuah startup tapi dengan manajemen perusahaan yang mapan.

Hanya saja Wardah masih harus bertempur di item shampo. Yang belum sukses. Shampo Wardah masuk ke medan perang ketika arena pertempuran sedang seru-serunya seperti itu.

“Kami harus mengubah strategi. Kami tidak bisa mengimbangi dengan cara yang sama,” ujar Dr Nurhayati.

Maksudnyi: tidak akan membalas dengan memghamburkan uang promosi dan potongan harga yang tidak masuk akal. “Kami pindah ke taktik gerilya,” katanyi. Sayangnya taktik baru itu terhambat oleh pandemi. Taktik gerilya itu memerlukan banyak bertemu langsung dengan konsumen. “Kami harus menjaga keselamatan karyawan kami. Itu nomor satu,” ujar Nurhayati.

Kemenangan shampo Wardah masih harus tertunda. Entah sampai kapan. Tapi Wardah tetap teguh. Tidak akan go public ke pasar modal. Saya mendukung itu. Budaya perusahaan di Wardah bukanlah jenis ‘budaya binatang ekonomi’.

Saya tidak bisa membayangkan apakah orang seperti keluarga Wardah sampai hati untuk goreng-goreng saham. Atau akuisisi sini akuisisi sana. Kalau perlu secara curang –yang penting harga saham naik terus. Saya juga tidak bisa membayangkan apakah Nurhayati tega sengaja menjatuhkan harga saham untuk menipu publik.

Dan lagi Wardah tidak perlu tambahan modal. Pertempurannya dengan produk global tidak memaksanyi mencari pinjaman bank. Atau mencari uang ke pasar modal.

Bahkan di tengah pertempuran itu, 2017, Wardah melunasi semua utangnya. Yang sempat sampai Rp 300 miliar. “Utang bisa membuat ketagihan. Kalau tidak dilunasi tidak bisa berhenti,” katanyi.

Bahkan Wardah juga ingin memperkokoh modal. Agar perusahaan nasional ini bisa bertahan kokoh terhadap serangan global. Modal yang sedang dibentuk adalah tabungan yang harus cukup untuk membiayai perusahaan selama 1 tahun. Maksudnyi: kalau pun ada bencana atau pandemi selama satu tahun Wardah tetap bisa bertahan. Tanpa jual aset, tanpa cari pinjaman dan tanpa jual saham.

Pinjaman dan saham adalah pintu dan jendela masuknya global ke perusahaan. Dengan perjuangan seperti itu sangat pantas Nurhayati mendapat gelar doktor dari ITB. Apalagi Nurhayati sendiri lulusan ITB –farmasi. Suaminyi juga lulusan ITB –teknik mesin. Dua anaknyi lulusan ITB. Empat kakaknyi lulusan ITB. Nikmat apalagi yang masih harus didustakan.

Dua tahun tidak bertemu bu Nurhayati begitu banyak yang berubah di Wardah. Struktur perusahaan pun sudah berubah. Sejak tahun lalu sudah dibentuk holding company –tanpa mengubah struktur kepemilikan.

Posisi Dr Nurhayati sendiri tidak lagi direktur utama. Jabatannyi sekarang adalah Presiden Komisaris. Baik di holding maupun di anak perusahaan. Sang suami menjabat komisaris. Sedang direksi sudah beralih ke anak-anaknyi.

Regenerasi itu dilakukan justru ketika Wardah masih kuat –secara perusahaan maupun fisik orang tua mereka: Ir Nurhayati dan Ir Subakat. Dan Nurhayati sendiri juga berubah: lebih seger, lebih muda, dan lebih modis.(Dahlan Iskan)

Tags :
Kategori :

Terkait