Parti Liyani

Selasa 08-09-2020,07:41 WIB
Editor : Andry Nurmansyah

Oleh: Dahlan Iskan

ROBERT Lai mengirimi saya berkas 100 halaman. Isinya: putusan pengadilan tinggi Singapura 4 September minggu lalu. Yakni tentang seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia yang akhirnya mendapat keadilan: Parti Liyani.

Hukum di Singapura bisa memenangkan seorang pembantu di depan seorang kaya yang terkemuka.

Teman baik saya di Singapura itu begitu senang dengan putusan pengadilan tersebut. Dengan putusan banding itu, Parti bebas dari hukuman 2 tahun 2 bulan. Itulah hukuman yang dijatuhkan pengadilan tingkat distrik, semacam pengadilan negeri di Surabaya.

Saya setuju kalau di Indonesia sebutan pengadilan negeri juga diganti dengan pengadilan distrik. Agar menunjuk langsung pada tingkatan wilayah. Juga agar tidak jumbuh dengan istilah pegawai negeri. Atau SMA negeri.

Atau, kalau istilah ’’pengadilan distrik’ dianggap barang impor, sekalian saja diubah dengan sebutan baru ’’pengadilan negari’’ atau ’’pengadilan nagari’’. Terserahlah. Kita kan lagi membahas Mbak Parti. Pembantu yang umurnyi 46 tahun.

Perkara Mbak Parti sendiri kurang menarik secara problem hukum. Tapi menjadi topik besar di Singapura karena melibatkan orang besar di sana.

Juragan Mbak Parti adalah Chairman Changi Airport Group: Pak Liew Mun Leong. Umur 74 tahun.

Pak Liew juga dikenal pernah menjabat CEO Capital Land, perusahaan properti BUMN Singapura yang punya bisnis di 110 kota dan di 20 negara.

Di Jakarta kantor Capital Land mencakar langit di Jalan Sudirman. Di Surabaya ia punya mal: BG Junction. Juga punya tanah strategis yang luas di Jalan Tunjungan, di selatan Hotel Majapahit, sebelum dijual ke grup Kapal Api. Pak Liew juga pernah mendapat gelar CEO terbaik 2006 di Singapura, saat menjabat CEO di Capital Land itu.

Tapi perkara ini tidak ada hubungannya dengan Capital Land. Itu hanya untuk latar belakang pribadi Pak Liew.

Bos besar itulah yang melaporkan Mbak Parti ke polisi. Tuduhannya: selama bertahun-tahun Mbak Parti mencuri barang-barang miliknya, milik isterinya, milik anak perempuannya, dan terutama milik anak laki-lakinya: Karl Liew.

Total nilai barang itu mencapai hampir satu miliar rupiah. Belakangan nilai itu turun menjadi sekitar setengahnya. Sebab, sebagian barang bukti dikeluarkan dari perkara.

Mbak Parti memang hampir 10 tahun bekerja di rumah Pak Liew. Sejak tahun 2007 sampai dia dipecat 28 Oktober 2016. Sejak gajinyi hanya 300 dolar sampai terakhir 600 dolar Singapura. Atau sekitar Rp 6 juta/bulan.

Sebenarnya, Mbak Parti sudah pulang ke Indonesia ketika laporan polisi itu dibuat. Itu berarti tanggal 30 Oktober 2016.

Hari itu Pak Liew sendiri baru pulang dari luar negeri. Tapi, ketika masih di luar negeri itu, Pak Liew meminta anak laki-lakinya, Karl, untuk memecat Mbak Parti.

Tidak terungkap apakah saat itu Pak Liew menerima laporan anaknya yang lagi ada persoalan tentang Mbak Parti.

“Apa salahku?” tanya mbak Parti.

“Kami sudah tidak mau pakai kamu lagi,” jawab Karl.

Bukan pemecatan itu yang membuat Mbak Parti sewot. Tapi kalimat Karl berikutnya. Yakni bahwa Mbak Parti hanya diberi waktu 2 jam untuk berkemas. Harus langsung pulang ke Indonesia.

Sambil sewot, Mbak Parti ngomel sendiri: saya akan laporkan ini ke kementerian tenaga kerja. Karl mendengar omelan Mbak Parti itu. Tapi Karl juga tahu Mbak Parti tidak sempat lapor ke kementerian. Tidak ada waktu.

Sesaat kemudian dua petugas dari agen tenaga kerja asing sudah datang ke rumah Pak Liew. Mereka mengatakan waktu berkemas sudah habis. Mbak Parti sudah harus meninggalkan rumah itu.

Mbak Parti masih terus sibuk berkemas. Semua barang yang akan dia bawa pulang dia hamburkan ke lantai. Sambil menunggu datangnya tiga boks besar, jumbo box.

Dia pun cepat-cepat memasukkan barang ke boks itu. Selesai satu. Penuh. Padat. Lalu boks itu dilakban muter-muter. Rapat.

Waktu hampir habis. Masih dua boks lagi. Mbak Parti minta tolong sopir di situ untuk bantu memasuk-masukkan barang. Agak seadanya dan sangat tergopoh-gopoh. Lakbannya pun sekadarnya. Asal nutup.

Mbak Parti sendiri yang menulis alamat di boks itu. Dia minta kepada Karl untuk mengirimkannya ke Indonesia. Sesuai dengan alamat yang tertulis di boks. Kiriman seperti itu biasanya dilewatkan ekspedisi laut. Agar murah.

Semula Mbak Parti agak bertengkar dengan Karl mengenai ongkos kirim itu. Semula Karl tidak mau menanggungnya. Mbak Parti mempersoalkan hak dan kewajiban masing-masing pihak seperti tertulis dalam kontrak. Akhirnya Karl setuju. Mbak Parti pun pergi meninggalkan rumah itu. Pulang ke Indonesia.

Baru beberapa lama di Indonesia Mbak Parti ditangkap polisi. Dikirim ke Singapura. Untuk diinterogasi, ditahan dan kemudian diadili. Terima kasih HOME!

HOME-lah yang menyediakan uang jaminan 15 ribu dolar agar Mbak Parti tidak masuk tahanan. Tapi akan tinggal di mana?

Ternyata HOME juga memiliki tempat penampungan bagi orang yang mereka tolong. HOME adalah LSM yang bergerak di bidang pembelaan, pemberdayaan dan kesejahteraan buruh migran di Singapura. Lembaga itu didirikan tahun 2004 dan sudah sangat banyak berbuat.

HOME pula yang mencarikan pengacara pro bono bagi Mbak Parti. Pengacara yang tidak perlu biaya.

Pengacara ini lagi naik daun di Singapura. Lebih top lagi setelah berhasil membela Mbak Parti. Namanya: Anil Balchandani.

Dari nama dan wajahnya terlihat ia keturunan India. Tapi itu tidak penting. Yang penting Anil ini punya kemampuan khusus yang jarang dimiliki pengacara lain.

Pendidikan Anil adalah science and electrical computer. Yang kemudian bekerja di bidang profesional engineering. Aneh sekali. Kok dari komputer ke hukum? E-mail saya kepada Anil belum dibalas. Padahal saya ingin bertanya: mengapa seorang insinyur komputer pindah haluan jadi pengacara. Ada kejadian apa kok sampai belok begitu menikung.

Saya punya teman seperti itu di Surabaya. Ia sekolah komputer sampai ke Australia. Tapi setelah pulang, ia kuliah di bidang hukum. Mulai dari semester satu lagi. Sampai lulus. Lalu ambil S-2, juga hukum. Lulus. Lantas ambil S-3 hukum. Jadi doktor hukum.

Bahkan teman saya itu kemudian menulis buku hukum. Itulah buku hukum yang punya rasa matematika dan komputer. Itulah desertasinya saat meraih gelar doktor.

Saya menduga, keluarnya Perma (Peraturan Mahkamah Agung) No 1/2020 terinspirasi oleh buku itu. Beberapa Hakim Agung memang hadir saat buku itu diluncurkan dua tahun lalu. Intinya: nilai hukuman itu harus seperti matematika. Kerugian negara berapa, hukumannya berapa. Ada tabelnya. Jangan terserah pada hati nurani hakim—karena belum tentu hati nurani itu masih ada.

Saya diberi buku itu. Menarik sekali untuk dibaca: bagaimana seorang ahli komputer menulis buku hukum.

Banting setirnya teman Surabaya itu jelas: ada asbabunnuzul-nya. Yakni ketika ayah yang sangat dicintainya bertengkar dengan teman bisnisnya lalu diperkarakan ke polisi. Sampai harus disidangkan di kursi roda.

Sang anak langsung mendalami hukum. Dan berhasil. Ayahnya pun bebas.

Saya benar-benar ingin tahu apakah pengacara Anil juga punya cerita di balik banting setirnya itu. Yang jelas Anil berhasil membebaskan Mbak Parti.

Anil berhasil membuktikan bahwa barang-barang yang dicuri itu adalah barang rusak. Termasuk DVD player seharga 1.000 dolar. Sebagai insinyur listrik Anil bisa mengetes dan membuktikan kerusakan itu.

Anil juga bisa mengungkap mengapa pencurian bertahun-tahun kok baru dilaporkan saat itu. Tidak ada pencurian baru yang dilakukan sesaat sebelum pemecatan itu. Tidak ada peristiwa baru. Mengapa dilaporkan sekarang, waktu itu.

Anil juga bisa membuktikan bahwa jam tangan yang aslinya mahal itu (sekitar 15 ribu dolar) ternyata jam tangan palsu. Yang tidak ada nilainya.

Maka masuk akal kalau jam tangan itu sebenarnya sudah dibuang oleh Pak Liew karena malu. Sebagai CEO yang hebat kok pakai jam tangan Vacheron Constantin palsu. Itu pun dibuang setelah 10 tahun.

Ternyata diakui jam tangan itu dibeli tahun 2000-an. Di pinggir jalan. Di Shanghai. Lalu tahun 2010-an dibuang ke tempat sampah. Diambil oleh Mbak Parti, yang juga tidak tahu bahwa itu merek jam yang sangat mahal.

Begitulah. Sebagian besar barang yang dituduhkan itu adalah barang rusak yang sudah dibuang. Atau sudah ditaruh di dekat tempat sampah.

Mbak Parti yang menyelamatkannya. Untuk dibawa ke Indonesia. Suatu saat nanti.

Anil juga bisa menggali perilaku Pak Liew dan keluarganya. Mereka adalah bukan tipe orang yang suka menumpuk dan menyimpan barang-barang lama. Watak seperti itu dalam bahasa psikologi disebut hoarder.

Pak Liew bukan seorang hoarder. Demikian juga istri dan anak-anaknya. Maka masuk akal kalau barang-barang bekas itu tidak perlu disimpan.

Apalagi, Anil bisa membuktikan bahwa sebagian besar barang bekas itu dibuang saat Karl kawin dan harus pindah rumah. Banyak barang yang Karl tidak mau membawa pindah.

Tapi dari mana Pak Liew tahu bahwa barang-barang yang begitu banyak itu ’’dicuri’’ Mbak Parti?

Kita flashback ke masa ketika Mbak Parti dipecat. Yakni ketika tiga boks jumbo itu diserahkan ke Karl untuk dikirim ke alamat Indonesia.

Keesokan harinya Ny Liew berbincang dengan Karl bagaimana cara mengirim tiga boks jumbo itu. Jangan-jangan nanti timbul masalah hukum yang akan mencelakakan. Terutama mengenai apa saja isi tiga boks jumbo itu. Jangan-jangan ada barang ilegalnya. Mereka pun sepakat untuk membuka tiga boks jumbo itu. Diketahuilah begitu banyak barang yang milik keluarga.

Pencurian!

Lapor polisi!

Pada 4 September 2020 Mbak Parti dibebaskan. Mbak Parti tidak terbukti mencuri. Bahkan dompet bekas yang semula juga masuk dalam tuduhan ternyata juga bukan. Dompet itu terbukti pemberian teman sesama dari Indonesia yang juga bekerja seperti Mbak Parti.

Anil berhasil bermain di motif. Motif adalah faktor penting dalam sebuah perkara pidana. Tidak cukup ada motif yang kuat bagi Mbak Parti melakukan pencurian. Apalagi dia sudah lebih 10 tahun di keluarga itu. Dianggap sangat memuaskan. Gajinyi pun naik terus. Sebaliknya di pihak keluarga Pak Liew. Penuh dengan motif.

Misalnya, sejak Karl pindah rumah lebih setahun sebelumnya. Mbak Parti menjadi sering diminta membersihkan rumah Karl. Juga membersihkan kantor Karl.

Mbak Parti mengatakan, pekerjaan tambahan itu dilakukan seminggu sekali. Selama lebih dari 1 tahun. Tapi Ny Liew bersaksi bahwa tugas tambahan itu hanya dua atau tiga kali. Demikian juga keterangan saksi Karl. Itu pun, Mbak Parti menerima upah 20 dolar.

Sedang Anil bisa meyakinkan hakim bahwa pekerjaan tambahan itu dilakukan seminggu sekali. Uang yang diterima mbak Parti pun bukan 20 dolar, tapi separonya.

Bagi Anil itu cukup. Berapa kali pun tugas itu adalah melanggar hukum. Kontrak kerja mbak Parti hanya bekerja di alamat rumah Pak Liew.

Anil juga mengungkap tidak konsistennya keterangan keluarga itu. Juga ternyata tidak semua barang itu milik keluarga.

Maka Anil bermain di motif.

Apa motif mbak Parti dipecat. Lalu apa motif mbak Parti dilaporkan ke polisi.

Laporan polisi itu, menurut Anil, untuk menutupi pelanggaran hukum mempekerjakan Mbak Parti di rumah dan kantor Karl. Mereka takut pelanggaran hukum itu terbongkar manakala Mbak Parti lapor ke kementerian tenaga kerja. Itu mengkhawatirkan mereka karena Karl pernah mendengar Mbak Parti akan lapor ke kementerian.

Motif pemecatan itu sendiri aneh: hanya karena Karl marah. Yakni ketika Mbak Parti tidak mau lagi mengerjakan pembersihan toilet di rumah Karl. Hanya toilet. Pembersihan yang lain tetap dia lakukan. Demikian juga pembersihan kantor.

Kelak, kalau ketemu Mbak Parti, saya ingin bertanya, ada apa dengan toilet itu? Kok dia tidak mau lagi membersihkannya.

Anil menang telak di motif perkara ini.

Dan hakim tinggi Chan Seng Onn bikin putusan hebat itu.

Maka Mbak Parti pun bebas.

Hidup Mbak Parti!

Hidup Anil!

Hidup HOME!

HOME adalah singkatan Humanitarian Organisation for Migration Economics. Yang mendirikan adalah seorang wanita, Bridget Tan. Dia menggunakan uang pensiunnyi sebanyak 60 ribu dolar Singapura untuk menolong buruh migran itu.

Semula Tan aktif di lingkungan organisasi sosial Katolik Singapura. Tapi dia berhenti karena merasa gereja kurang mendukung program seperti yang dia inginkan. HOME sampai menggalang dana untuk Mbak Parti. Untuk modal hidupnyi setelah perkara ini selesai.

Dalam satu hari saja, HOME berhasil mengumpulkan dana untuk Mbak Parti sebesar 28 ribu dolar. Atau sekitar Rp 300 juta. Orang-orang di Singapura begitu simpati pada Mbak Parti—yang sudah empat tahun tidak bekerja.

Akan ke mana Mbak Parti setelah ini? Akankah kembali bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura? “Saya akan pulang ke Indonesia. Akan akan jualan makanan,” kata Mbak Parti.

Selama ini, Mbak Parti berhasil menyembunyikan masalah yang dia hadapi dari orang tuanyi. Dia sangat khawatir orang tuanyi terguncang. Maka selama hampir 4 tahun tinggal di shelter HOME itu mbak Parti dikira masih bekerja seperti biasa. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait