Kasus KDRT di Bandar Lampung Selama 2024 Didominasi Pinjol dan Perselingkuhan

Kasus KDRT di Bandar Lampung Selama 2024 Didominasi Pinjol dan Perselingkuhan

Kasus KDRT di Bandar Lampung Selama 2024 Didominasi Pinjol dan Perselingkuhan--

MEDIALAMPUNG.CO.ID – Pemerintah Kota Bandar Lampung, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mencatat sebanyak 21 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi sepanjang tahun 2024.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas PPPA Kota Bandar Lampung, Maryamah, yang menyebut bahwa kasus-kasus tersebut dilaporkan dan ditangani oleh pihaknya sejak Januari hingga Agustus 2024.

"Untuk tahun 2024, kami mencatat 21 kasus KDRT di Kota Bandar Lampung. Ini berdasarkan laporan yang masuk dan kami tangani," ungkap Maryamah, Kamis, 26 September 2024.

Kasus KDRT tersebut terjadi di 20 kecamatan di Kota Bandar Lampung, dengan korban utamanya adalah perempuan dan anak-anak. Sebagian besar kasus KDRT disebabkan oleh masalah ekonomi yang umumnya dialami keluarga dari kalangan menengah ke bawah.

BACA JUGA:KPU Kota Bandar Lampung Bagikan Dua Zona Kampanye untuk Calon Walikota

"Masalah ekonomi ini berkaitan dengan pinjaman online (pinjol) dan judi online (judol), yang saat ini sedang marak," tambah Maryamah.

Masalah ekonomi yang berkepanjangan, menurutnya, kerap memicu konflik dalam rumah tangga, bahkan berujung pada perceraian. Dalam banyak kasus, anak-anak menjadi korban yang merasakan dampak langsung dari kekerasan tersebut.

Tak hanya persoalan ekonomi, KDRT juga sering dipicu oleh perselingkuhan yang menyebabkan ketegangan emosional di dalam rumah tangga. Hal ini sering kali berujung pada kekerasan fisik.

"Dampak dari masalah rumah tangga, seperti perceraian, juga bisa membuat anak-anak menjadi korban bullying di sekolah," sambung Maryamah.

BACA JUGA:Akibat Bakar Sampah, Kebakaran Terjadi di Lahan Pengepul Rongsokan

Sejauh ini, menurut Maryamah, masih sedikit korban KDRT yang berani melapor. Biasanya, laporan datang dari pihak keluarga dan hanya jika terdapat bukti kekerasan. Meski begitu, hanya sedikit korban yang bersedia melakukan visum sebagai bukti pendukung.

"Kami terus memantau beberapa korban yang masih dalam proses pendampingan. Mereka harus diamankan di tempat yang aman agar trauma yang mereka alami bisa perlahan hilang," tutup Maryamah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: