Siapa Membunuh Putri (26) - Melamar Inayah

Siapa Membunuh Putri (26) - Melamar Inayah

----

”SAYA dulu ketika masih aktif sebagai wartawan pernah ditugaskan di sini,” kata ayah Inayah. Kami berbincang di restoran Hotel Nagata Plaza, sambil sarapan. 

Orang tua Inayah memilih menginap di hotel di tengah kota. Katanya, ia ingin melihat seperti apa dulu kota yang tapak awalnya ia saksikan.

”Beberapa kali saya pernah wawancara dengan Pak Habibie, orang jenius itu.” Ia tunjukkan fotonya bersama sosok yang pemikirannya membuat pulau ini berkembang seperti sekarang. 

”Tak menyangka kota ini menjadi seperti ini sekarang,” kata ayah Inayah, ”benar-benar seperti kata penyair Idrus Tintin, disulap!”

Kami bicara tentang kota ini seperti dikarbit, matang tak merata. Matang terpaksa. Perkembangan yang di luar dari apa yang direncanakan.  Judi, premanisme, pejabat korup, hukum yang mudah dibelok-bengkokkan, persoalan lahan tak habis-habis. Ekonomi memang tumbuh. Bisnis maju. Gedung-gedung megah bermunculan. Tapi kota ini juga jadi tong sampah. Apa-apa yang hendak disingkirkan dan di buang dari negeri seberang.

”Kesalahan atau kenaifan beliau adalah itu, Nak Abdur, ia pikir semua bisa ia kendalikan. Padahal tidak. Saya tahu betul soal itu. Nak Abdur juga pasti tahu,” katanya.

”Itu yang membuat saya tak betah sampai akhirnya saya memilih kembali ke Pekanbaru. Menjadi dosen.  Jadi PNS. Dan menikah. Saya agak menikah, lambat juga punya anak. Inayah lahir tiga tahun setelah kami menikah, hampir empat tahun,” katanya.

Kami berbincang tentang banyak hal, kami bisa berbagi banyak cerita tentang dunia kewartawanan.  Zain Azhar adalah wartawan yang disegani pada masanya. Ia seorang pencerita yang baik.  Ia kenal petinggi-petinggi koran kami, teman-teman lamanya. Di Borgam, dia menyebut beberapa nama tokoh, pejabat, polisi, wartawan lama, dan pengusaha yang ia kenal. Ia menyebut juga nama Pak Rinto. Rinto Sirait. Si supir presiden.  Inayah dan ibunya sesekali menimpali.  

”Nak Abdur orang tuanya di mana sekarang?” tanya ayah Inayah.  

Inilah bagian yang kucemaskan. Kepada orang lain saya bisa mengarang atau menghindar. Tapi ini yang bertanya adalah Zain Azhar, ayah Inayah.

”Mas Abdur yatim piatu sejak tujuh tahun, Yah,” kata Inayah, membantu saya memulai cerita.

”Iya, Pak. Ayah meninggal ketika saya tujuh tahun. Ibu bahkan tak pernah saya kenal, kecuali lewat foto saat ayah dan ibu bersanding,” kataku. Saya berusaha menceritakannya dengan biasa saja. Saya paling tak suka dikasihani orang. Saya malas menceritakan kisah masa kecil saya kalau hanya membuat orang mengasihani saya.  

Ibu saya meninggal ketika melahirkan adik saya. Saat itu saya masih dua atau tiga tahun. Ayah menikah lagi dengan sepupu ibu. Sebagai ibu pengganti, bibi saya itu merawat saya seperti anak sendiri. Saya bahkan tak tahu bahwa dia adalah ibu tiri sampai dia memberitahukannya.

Ayah meninggal karena kecelekaan di kapal. Ayah petani, sesekali melaut, sebagaimana banyak penduduk di kampung kami, kampung petani dan nelayan di pesisir Kalimantan. Ayah punya kapal kecil bermesin tempel.  Suatu pagi dia pergi melaut ketika kabut pekat menyamarkan jarak pandang. Udara laut lebih dingin dari biasanya.

”Sarung yang ia lingkarkan di leher, terlilit roda gila. Ayah mati tercekik, terapung-apung sampai ada nelayan lain yang menemukan ayah,” kataku.   

Saya lihat dua perempuan di hadapan saya berlinang air mata. Saya lihat mereka menangis dengan tulus, karena terharu, bukan karena kasihan padaku. Batas antara kasihan dan cinta, di mata mereka saya bisa membedakannya. Ya, saya yakin mereka menangis karena cinta. Bukan karena kasihan.  Mata saya ikut berair.  Dari dalam tas, Inayah mengeluarkan tisu dan memberikannya kepada saya.

Setelah kematian ayah, ibu yang merawat saya, sepupu ibu kandung saya itu menikah lagi, dia titipkan saya di pesantren.  ”Sepertinya sulit mencari lelaki yang mau menerima seorang janda dengan dua anak, dan satu orang anaknya bukan juga anak kandung,” kataku.

”Kamu sekolah di pesantren itu?” tanya ayah Inayah.

”Ya, Pak. Sampai tamat MTS. SMA saya masuk sekolah negeri, tapi masih satu kota dengan pesantren itu. Saya masih tetap tinggal di pesantren sampai tamat SMA,” kataku. 

Kami melanjutkan berbincang sambil menghabiskan sarapan. Nasi goreng di hotel ini istimewa. Tapi kopinya mengecewakan. Tamu hotel tak terlalu ramai.  Inayah gelisah. Terus melirik ke saya. Bagian paling menegangkan dari pertemuan pagi ini belum lagi terlewatkan. Saya harus melamar Inayah. Tapi bagaimana memulainya? Untuk hal-hal terkait hal ini saya tak punya referensi. Pak Rinto jelas bukan orang yang tepat. Ustad Samsu? Mungkin bisa, tapi saya putuskan untuk melibatkan beliau nanti saja di urusan lain yang lebih penting.

”Mas Abdur nanti mau ikut lihat rumah?” tanya Inayah.  Dia pasti melihat saya bingung untuk masuk ke pembicaraan soal krusial ”melamar” itu.

”Nak Abdur belum lihat rumahnya?” tanya ayah Inayah.

”Sudah, Pak,” kataku nyaris berbarengan dengan Inayah.

Aku terdiam, Inayah menyambung, ”saya cari rumahnya sama Mas Abdur, Yah,” kata Inayah.

”Itu rumah saya belikan buat Inayah,” kata ayah Inayah. ”Kamu rencananya mau terus tinggal di sini, kan? Rumah di Pekanbaru buat adikmu. Ayah sama ibu nanti numpang aja ya. Sebentar di Pekanbaru sebentar di sini. ”

Ibaratnya main bola, Inayah sudah memberi saya umpan yang bagus. Saya tinggal menendang ke arah gawang. Susah sekali ternyata. Saya mengumpulkan dan menyusun kata-kata. Hanya perlu beberapa kata, tak sampai ratusan seperti berita utama. Ayo, Abdurauf bin Muhammad Ilham, kamu bisa!

Saya lekas menyusun draf, ancang-ancang, mungkin begini kalimatnya: Pak, saya tak tahu adatnya seperti apa. Saya takut tak menghormati Bapak sebagai orang tua. Saya tak punya orang tua yang bisa saya minta untuk melamar Inayah untuk saya, maka maafkan saya karena menyampaikan ini sendiri kepada Bapak. Saya melamar Inayah untuk jadi istri saya.

Ya, rasanya itulah kalimat terbaik yang bisa saya ucapkan.

”Ya. Nak Abdur. Bapak dan ibu merestui kalian. Selanjutnya kalian atur saja ya rencananya,” kata ayah Inayah. Saya lihat Inayah tersenyum bahagia. Dan bangga.  Hah? Tadi saya sudah mengucapkannya? Bukan ancang-ancang?  Saya terkejut, tapi kemudian merasakan kelegaan yang luar biasa. Beban itu terangkat sudah. Tapi beban lain terletakkan di pundak saya. Lebih berat tapi saya merasa serta-merta menjadi lebih kuat. Saya yakin bisa menanggung beban baru ini. Bersama Inayah.

Inayah meminta pada ayahnya untuk menikah di Pesantren Alhidayah. Bersanding juga di aula pesantren. Tadinya saya meminta izin pernikahan kami dilakukan setelah rumah saya selesai.  ”Tinggal saja di rumah Inayah. Itu jadi rumah kalian kalau kalian sudah menikah nanti,” kata ayah Inayah. 

Saya dan Inayah mengantar ke Bandara Hang Tuah, kepergian dua orang tua itu kembali ke Pekanbaru. Dua orang tua yang tampak sangat bahagia.  Seperti telah memindahkan beban berat tanggung jawab atas anak perempuannya ke lelaki yang baru saja mereka kenal, yang untungnya bisa mereka percaya. Inayah mengajakku makan di restoran seafood di Penangsa.  Ada yang dia mau bicarakan berdua. 

”Tadi ingat ya ayah ceritanya berapa lama mereka menunggu sampai saya lahir. Empat tahun untuk dapat anak pertama. Saya kemungkinan besar mewarisi masalah kesuburan dari ibu. Mens saya tak pernah teratur sejak semula. Mungkin saya tak subur. Mungkin saya susah atau bahkan tak bisa punya anak, Mas,”    

”Dari caramu mengasuh anak-anak panti, saya yakin kamu adalah ibu yang baik. Kamu sudah jadi ibu sebelum kamu punya anak. Saya kalau jadi anak-anak pasti bahagia punya ibu kayak kamu,” kataku.

”Oh, mau jadi anakku? Ngak mau jadi suamiku, nih?”

”Jadi ayah anak-anakmu,” kataku. Dan pesanan kami pun datang. Itulah makan siang ternikmat kami sebagai sepasang manusia yang sangat berbahagia.  Saya sejak hari itu merasakan perubahan. Saya merasa jadi orang yang berbeda. Saya menjadi lebih berhati-hati.  Bukan menjadi penakut, tapi jadi banyak menimbang.  Saya merasa diriku kini bukan hanya menjadi milikku sendiri. Ada Inayah yang tiap kali hendak memutuskan sesuatu saya memasukkan dia sebagai variabel tambahan untuk dipertimbangkan.

Di kantor, Bang Eel memanggil saya ke ruangannya. Ada yang mau dia bicarakan, katanya.  ”Kamu dekat sama Ustad Samsu, kan?” tanyanya.

”Seperti pengganti orang tua saya, Bang,” jawabku.

”Dia bisa mengislamkan orang, nggak?”

”Siapa, Bang?”

”Nenia. Kami mau menikah,” kata Bang Eel, bersemangat. 

 

”Alhamdulillah.” (Hasan Aspahani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: