Siapa Membunuh Putri (12) Kenapa Disekap
Ilustrasi malam pertama di kos baru.-Maulana Albar Naafi/Harian Disway---
FERDY datang terlambat ke kantor, hampir dua jam. Saya paling tak bisa menoleransi ketakdisiplinan. Apalagi ini dilakukan Ferdy, wartawan baru yang sangat kuharapkan menjadi tulang punggung liputan Dinamika Kota. Ferdy bilang berita sudah dia cicil ketikannya di ponsel. Saya tak percaya orang bisa mengetik dengan baik di gawai sekecil itu. Nyatanya ia bisa. Hanya terlambat belasan menit dari deadline menyerahkan berita, dia sudah setor berita. Satu berita utama dan dua sisi lain yang menarik. Tentang kondisi hotel tempat pembantu korban. Ia juga menulis sedikit profil pembantu itu.
Namanya Runi. Orang Bima. Ferdy wawancara kawan Runi yang mengengoknya di tahanan polisi. Orang satu kampung. Runi berpacaran dengan Awang. Lelaki Melayu yang kerja serabutan, sesekali kerja sebagai sekuriti atau bawa taksi gelap. Sekuriti di komplek perumahan yang jadi TKP kenal dengan Awang.
Awang sering datang menemui Runi. Awang menghilang sejak Putri menghilang. Saya mengendus perkembangan cerita yang menarik dari dua sosok ini. Profil Awang dan kondisi perumahan yang jadi TKP bisa untuk jadi bahan liputan berukitnya. Saya mencatatnya di buku catatan saya, bahan buat rapat redaksi.
Selesai mengetik berita Ferdy pamit pergi buru-buru. Ia bilang akan kembali lagi selepas Isya, masih ada berita yang mau dia ketik, tapi sementara itu ada urusan yang ingin ia bereskan katanya. Ada yang mau dia bicarakan dengan saya. Ada apa? Kecemasan saya belum boleh hilang rupanya. Ingin saya menahan Ferdy dan bicara saat itu juga, tapi kerja menyiapkan koran sedang tak bisa diinterupsi oleh apapun. Cetak lima belas ribu besok adalah pertaruhan besar!
Kerja pracetak malam itu akhirnya beres juga. Kami bekerja dengan bersemangat. Capek yang tak terasa selama berjam-jam kerja itu baru terasa ketika tak ada siapa-siapa lagi di kantor. Aku menunggu Ferdy. Headline kami hari itu Kenapa Anak Putri Disekap di Hotel, dengan subjudul tetap Siapa Membunuh Putri.
Ferdy datang dengan cemas. Dia tergagap dan gugup ketika hendak mulai bicara. Lelah dan pucat. ”Udah makan belum?” tanyaku bercanda sebenanrya. Tapi tampaknya dia memang lapar. Ada satu bungkus nasi goreng tadi kubeli, sudah dingin. Aku bagi dua dengannya, kami makan dengan lahap.
”Maaf, Bang. Saya merepotkan sekali,” kata Ferdy setelah agak tenang.
Dia bercerita tentang istrinya yang nyaris keguguran. Pendarahan parah tadi pagi. Untung lekas pergi sendiri ke klinik. Ferdy menyusulnya. ”Istriku stres, Bang. Kami kan numpang di rumah keluarga istri saya. Mereka keluarga muslim. Kayaknya mereka tak nyaman dengan saya. Saya ini kan Kristen. Makanya saya terima kasih sekali abang kasih saya tumpangan sementara di rumah abang,” kata Ferdy.
Aku terdiam sebentar. Membiarkan Ferdy menghabiskan kesedihannya dengan sedikit kegembiraan itu. ”Istrimu harus dirawat?” akhirnya aku menemukan pertanyaan itu.
”Harusnya, Bang. Tapi tadi saya tak ada biaya.”
”Wah, jangan, dong. Opnamelah. Nanti dirawat ya, sampai sembuh. Selamatkan istrimu, selamatkan janin anakmu. Jangan pikirkan biayanya. Nanti kita cari,” kataku.
Malam itu kepada Ferdy saya juga memberi rumah. Mungkin itu bisa menghiburnya, membantu beban pikirannya yang sedang berat. Bukan rumahku sebenarnya. Bang Ameng tadi pagi singgah ke kantor, ternyata meninggalkan map berisi dokumen pembelian rumah yang dia tawarkan padaku. Rumah yang dibangun developer teman bisnisnya itu. Meskipun saya sudah menolak. Saya sudah juga beres dengan urusan pembelian rumah di kompleks yang sama dengan skema kredit. Meski harus dengan sedikit akal-akalan orang keuangan. Gaji saya tiga bulan terakhir dibesarkan supaya lolos dalam penilaian bank. Tiga puluh persen dari besaran gaji minimal sama dengan cicilan kredit. Kenapa harus berbohong begitu, tanyaku? ”Karena standar gaji kita memang kecil,” kata manajer keuangan kami.
Saya hampit membatalkan pengajuan kredit itu. Manajer keuangan kami meyakinkan yang penting saya bisa mencicil tiap bulan. ”Mas Dur kan dapat tambahan penghasilan dari komisi iklan tiap bulan,” katanya. Saya mulai mencicil uang mukanya.
Mata Ferdy berair. Ia bercerita tentang rumahnya yang dibakar massa saat kerusuhan panjang Ambon. Satu kompleks perumahan. Rumah yang belum lama ia tempati. Rumah yang juga ia beli dengan kredit.
”Sementara tinggal di rumahku saja, tak apa, sampai rumah kita selesai,” kataku.
Dengan headline yang berbeda koran kami hari itu unggul lagi. Laris manis. Jadi rebutan agen dan pengecer. Belum jam 12, koran kami sudah habis. Di mana-mana orang membahas berita kami. Juga di siaran pagi radio lokal.
Mayat Putri segera diterbangkan ke Palembang, kota kelahirannya. Orang tuanya, terutama ibunya rupanya kemarin bikin jumpa pers di Polda. Nyaris semua koran selain koran kami memberitakan jumpa pers itu. Kami tak dapat berita itu, karena Ferdy tak datang ke Polresta siang kemarin, saat jumpa pers tersebut. Di depan wartawan ibunya Putri menangis dan membuat pernyataan agar polisi segera menemukan pelakunya. Suaminya, ayah Putri, yang pernah jadi Kapolda di Palembang itu hanya diam. AKBP Pintor juga muncul di hadapan wartawan. Aku memperhatikan wajah-wajah itu.
Serangkaian pertanyaan muncul di kepalaku. Kenapa harus ada jumpa pers itu? Apa urgensinya? Tanpa itu pun siapapun pelaku pembunuhan harus ditemukan. Polisi harus menangkap pelakunya dan publik harus merasakan bahwa keadilan ditegakkan, siapapun korban dan pelakunya, apapun motif kejahatan itu. Peti mati jenazah Putri diletakkan di ruang jumpa pers bersama fotonya yang sedang bersanding dengan Pintor. Setelah jumlah pers itu mayat Putri segera dibawa ke Palembang.
Tak ada yang bertanya soal autopsi. Paling tidak saya tak membaca ada koran yang membuat perihal itu. Polisi umumkan tim khusus di luar bareskrim dibentuk untuk mengusut kasus ini. Kenapa tim khusus? Alasannya agak tak logis. Polisi bilang ini kasus khusus, korbannya istri perwira, direktur kriminal khusus. ”Kalau diusut oleh tim biasa takut nanti ada kerikuhan,” kata pejabat Humas Polresta.
Di koran yang mengutip kalimat itu menyebut nama baru. Sepertinya pejabat baru. Saya belum pernah membaca namanya sebelumnya. Polisi, katanya, juga sedang fokus memburu Awang, pacar Runi. Polisi belum menyebut Putri sebagai korban pembunuhan, hanya disebut korban kekerasan.
Banyak pertanyaan berseliweran di kepalaku terkait perkembangan pembunuhan Putri dan perkembangan terakhir pemberitaan. Hari itu koran kami bisa dikatakan kecolongan bahan dari jumpa pers tapi tetap unggul di pasar karena pemilihan sudut pemberitaan yang berbeda. Banyak hal belum kupahami lagi. Kalau harus mengikuti arah berita kepolisian rasanya tak akan menarik. Polisi ingin publik mengikuti logika mereka. Tapi kenapa? Saya merasa harus menemui seseorang. Saya harus ketemu si sopir presiden, Pak Rinto Sirait.
Ketika aku tiba di rumahnya, bersama Ferdy, Pak Rinto sedang sibuk dengan Jeep CJ 7-nya. Kendaraan produksi lama yang terawat rapi. Mesinnya masih hebat. ”Sudah mau dibeli sama orang Jakarta, mau dibawa ke Jakarta, nggak saya lepas. Nggak akan saya lepas,” kata Pak Rinto.
Saya memperkenalkan Ferdy. ”Yang kode beritanya FDY, ya? Kamu rupanya…,” kata Pak Rinto. Dia selalu begitu. Pembaca berita yang jeli, sampai kode berita wartawan dia ingat.
”Coba perhatikan siapa direskrimum sekarang,” kata Pak Rinto. ”Harusnya dia yang tangani kasus Putri. Kenapa harus dibentuk tim khusus? Ini soal persaingan. Juga ada yang yang mau ditutupi, dan ada skenario yang mau dijalankan,” kata Pak Rinto. Kami duduk di teras rumahnya yang teduh. Dia menyuguhi kami dengan – apalagi kalau bukan – sukun goreng. “Kamu orang Ambon makan sukun goreng nggak?” tanya Pak Rinto pada Ferdy.
Pak Rinto kemudian bercerita tentang banyak hal. Selalu ada persaingan di dalam organisasi Polri dari mabes sampai polsek. Persaingan antarangkatan di pendidikan, asal kota, antarsuku, sampai persaingan karena kepentingan kelompok. ”Juga persaingan menguasai atasan,” kata Pak Rinto.
”Maksudnya gimana, Pak?”
”Ya, berebut pegang atasan. Biasa itu, selalu terjadi,” kata Pak Rinto. Di kepolisian itu mutase tinggi. Tour of duty istilahnya. Kapolres yang baru tergantung pada para perwira lama yang sudah tahu situasi daerah. Ada kepentingan-kepentingan membeking pengusaha atau kepentingan lain, politik misalnya.
”Di sini yang kayak gitu luar biasa persaingannya. Uang remang-remang di sini luar biasa perputarannya. Terutama judi. Juga penyeludupan. Ini Kawasan FTZ katanya, kan? Semua barang boleh masuk kecuali yang dilarang. Nah, siapa yang mengawasi barang yang dilarang itu tidak masuk?” kata Pak Rinto.
”Biaya operasional kepolisian itu tinggi. Apalagi di kota pulau kita ini. Biaya dari negara tak pernah cukup. Kapolresta harus pandai-pandai mencari dana tambahan. Di situ persaingan muncul. Siapa yang bisa menyetor rutin, dia yang dapat prioritas lebih besar, promosi. Kadang-kadang uang yang tak jelas sumbernya itu malah lebih besar dari biaya resmi. Itu yang bikin saya mundur dari dinas. Kau pahamlah, aku sudah sering cerita sama kau, Dur…” kata Pak Rinto.
”Jadi kira-kira apa hubungannya dengan pembunuhan Putri, Pak?” tanyaku.
”Ah, mancing-mancing kau. Jangan kau tanya aku. Itu tugasmu menjawabnya,” kata Pak Rinto. Kami tertawa.
“Kita ikuti saja ke mana arahnya. Koranmu beda cara membaca arahnya. Aku suka. Menarik. Nanti datang ke sini lagi, kita diskusi lagi. Aku langganan dong, koranmu. Ini saya beli eceran, kehabisan terus. Dapat di loper dimahalin sampai dua kali lipat,” kata Pak Rinto tertawa. (Hasan Aspahani)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: