Elpiji DME

Elpiji DME

--

OTAK dan hati saya sering berseberangan. Juga ketika membaca berita besar ini: elpiji akan digantikan DME.

Elpiji berasal dari gas alam. Bahan bakunya impor. Harganya lagi mahal. Pemerintah harus menyubsidi besar-besaran. Kalau tidak, jutaan emak-emak demo seperti minyak goreng dulu.

DME bahan bakunya batu bara. Tidak perlu impor. Batu bara dimasukkan ke reaktor dengan suhu di atas 400 derajat celsius. Jadilah gas. Terserah gas jenis apa. Dengan proses tertentu jadilah gas DME –Dimethyl Ethan. Lalu gas itu dimasukkan tabung. Dikirim ke rumah Anda. Tidak perlu lagi elpiji. Subsidi elpiji pun bisa dikurangi –atau dihapus.

Anda sudah tahu: kita kaya batu bara. Maka hati saya pun penuh doa: semoga terwujud impian lama ini. Untuk apa impor kalau bisa dibikin di dalam negeri.

Proyek DME ini akan dibangun di Enim, Sumsel. Di tengah tambang batu bara milik BUMN –PT Bukit Asam. Batu pertama proyek ini sudah diletakkan sendiri oleh Presiden Jokowi. Januari lalu.

Saya sudah pernah mendorong langkah yang mirip itu. Kecil-kecilan. Lebih 10 tahun lalu.

Saya pun meninjau dua proyek swasta itu. Dengan semangat membara. Satu di pulau Kondor –nun di seberang pulau Karimun. Untuk ke sana harus ke Batam dulu. Lalu naik kapal ke Karimun. Ganti perahu ke Kondor.

Kasihan.

Investornya menjerit kesakitan. Keuangannya babak belur. Teori tidak sejalan ketika dipraktikkan. Pengolahan batu bara menjadi gas itu gagal. Gas yang dihasilkannya ternyata tidak cukup ''bersih'' untuk dipakai menjalankan genset. Sebanyak 12 genset di situ rusak. Diperbaiki. Rusak lagi. Terus saja begitu.

Masyarakat juga mengeluh. Bau limbah pembakaran batu bara itu luar biasa menyengat. Busuk. Penduduk sekitar protes. Proyek ini gagal total. Kasihan pengusaha itu.

Yang kedua letaknya juga amat jauh: di Melak. Di pedalaman Kaltim yang sangat dalam. Uji coba terus dilakukan. Tidak juga berhasil.

DME Tanjung Enim tentu berbeda. Gas DME ini sebenarnya juga tidak terlalu bersih. Tapi fungsinya kan hanya untuk dibakar di kompor. Tidak masalah. Mestinya.

Hanya saja kita harus memulai semuanya dari awal. Tabung elpiji yang ada sekarang tidak bisa dipakai untuk DME. Tabung DME harus khusus. Salah satu sifat DME, misalnya, ''memakan'' karet. Dengan demikian sistem pengaman tabungnya harus berbeda sekali.

Anda pun akan bertanya: apakah harga DME bisa lebih murah dari elpiji? Saya menyesalkan pertanyaan Anda itu: bertanya saja kok yang sulit dijawab. Saya pun angkat tangan: tidak bisa menjawabnya. Selesai.

Bukit Asamlah yang bisa menjawab. Juga Pertamina. Dua BUMN itu memang ditugasi pemerintah untuk melaksanakan gasifikasi batu bara itu.

Bagi Bukit Asam menjawabnya gampang: batu baranya kan tinggal ambil. Tidak perlu beli. Biaya ambilnya pun murah. Mungkin hanya USD 8/ton. Di Indonesia tambang batu baranya sederhana: di permukaan tanah. Tidak seperti di Eropa atau Tiongkok: harus bikin lubang ke dalam perut bumi puluhan meter. Ratusan.

Dan lagi Bukit Asam dan Pertamina tidak harus keluar uang. Biaya investasi hampir Rp 0. Perusahaan Amerika Serikatlah yang investasi:  Air Products and Chemicals Inc.

Biaya investasi itu mencapai USD 15 juta. Atau sekitar Rp 210 miliar. Yang penting, baginya, Pertamina mau tanda tangan: sebagai pembeli wajib DME yang dihasilkannya.

Hati saya pun full doa: semoga terealisasi. Bersejarah. Apalagi kalau secara bisnis juga sukses bagi Bukit Asam dan Pertamina.

Tapi otak saya kok sangat khawatir: proyek ini layu sebelum berkembang.

Secara ekonomi harga DME baru bisa bersaing dengan elpiji dengan banyak syarat. Salah satunya: berapa harga batu bara yang diubah menjadi DME itu.

Saya pun menghubungi Prof Dr Unggul Priyanto. Ia sarjana kimia ITB, S2 di Inggris dan S3 di Jepang. Disertasinya tentang mengubah batu bara menjadi slurry. Yakni batu bara cair. Untuk bahan bakar genset.

Dr Unggul pernah hampir lima tahun menjadi ketua BPPT. Setelah pensiun pun masih jadi peneliti di BPPT –kini difusikan menjadi BRIN.

Kalkulasi Dr Unggul membuat saya harus lebih memperbesar porsi doa. Sekarang ini harga batu bara luar biasa tinggi. Yang Gar-5000 sudah di sekitar USD 100/ton. Padahal agar DME baru bisa bersaing dengan elpiji manakala harga batu bara gar-5000 hanya USD 40/ton.

Apakah Bukit Asam rela batu bara seharga USD 100 itu dijual ke proyek DME hanya USD 40.

Bagaimana kalau untuk DME itu pakai batu bara kalori rendah? Misalnya Gar-3000? Sama saja. Harga batu bara Gar rendah memang lebih murah. Tapi perolehan kadar energinya juga rendah.

Bisa saja pemerintah akan memaksa: Bukit Asam tidak boleh berpikiran bisnis seperti itu. Ini soal ketahanan energi nasional. Biarkan ibu-ibu bisa mendapat DME harga murah. Ibu-ibu diuntungkan. Demikian juga perusahaan Amerika itu.

Tentu harga batu bara juga tidak akan selalu tinggi seperti sekarang. Tapi harga bahan baku elpiji juga ikut turun.

Diskusi masih akan panjang. Toh pembangunan fisiknya baru dimulai akhir tahun depan. Tentu perlu juga dipastikan apakah rencana investasi USD 15 juta itu uangnya nyata.

Yang penting Pak Jokowi sudah memulai. Syukur-syukur kalau beliau juga yang meresmikannya: di tahun 2027. (Dahlan Iskan)

 

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar di http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: