Aom-Slamet

Aom-Slamet

--

INI masih seputar Rektor Universitas Lampung (non aktif) Prof. Dr. Karomani yang ditangkap KPK, Sabtu lalu. Aom adalah panggilan akrabnya.

Aom Slamet. Bukan berarti dia selamat. Tapi, Slamet adalah nama seseorang yang akan saya ceritakan dalam tulisan ini. 

Apa ada kaitan Aom dengan Slamet? Tidak. Tapi juga bisa iya. Hanya Allah, Tuhan sang Pencipta yang tahu.

Saya sama sekali tak menyangka OTT KPK dilakukan terhadap sosok Aom. Menurut saya, dia sosok sederhana, tegas dan memiliki integritas. 

Di beberapa ceramahnya selalu mengesankan bahwa dia anti KKN. Anti intoleransi dan radikalisme. Apalagi terorisme.

Selain rektor, Aom juga menjabat Ketua Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa. Juga sebagai wakil ketua salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia wilayah Lampung.

Namun respons sejumlah tokoh, pejabat dan politisi justru mengesankan bahwa penangkapan Aom itu sesuatu yang  sepantasnya terjadi. 

Bahkan, ada karangan bunga sebagai ungkapan suka cita.

Anda bisa baca dalam tulisan saya sebelumnya. Berjudul, “Nah..kan”. Dimuat Radarlampung.disway.id dan harian Radar Lampung edisi hari ini.

Melalui google analytics, bisa dilihat tulisan itu hingga kemarin dan sampai siang ini masih menjadi top topik. Sudah dibaca ribuan orang.

Menurut saya bukan karena tulisannya. Namun lebih pada masalah yang diangkat. Apapun soal Aom, menarik untuk disimak. Seperti kasus Sambo. 

Saya pun mulai menerka-nerka kenapa OTT itu terjadi. Apa karena banyak orang tidak suka dengan kebijakan Aom yang anti KKN. Bahkan kerabat, anak dosen dan karyawanpun tidak dapat kemudahan?

Apakah ada pihak internal Unila yang tidak puas atas kebijakan Aom soal para pembantunya, baik di tingkat universitas  dan fakultas?

Apakah ada pihak yang tidak puas atas sikap Aom yang dinilai membungkam demokrasi di Unila. 

Sampai-sampai sempat ada demo mahasiswa soal matinya demokrasi di kampus mereka? 

Apakah ada pihak tidak suka, Aom merobohkan masjid tua di kampus itu, padahal masih cukup layak? 

Apakah Aom dianggap tidak peduli soal dampak Covid-19, sehingga tak mau menurunkan biaya UKT?

Pokoknya banyak banget.

Dari berbagai spekulasi yang belum tentu benar itu, saya tiba-tiba teringat Slamet. 

Entah mengapa, hati saya terenyuh. Saya pun menangis. Saya tak kuasa membendung air mata membayangkan sosoknya.

Slamet adalah tuna netra penjual kerupuk keliling berusia 50 tahun. Pria 3 anak ini buta total sejak usia 6 tahun karena demam panas.

Sabtu, 29 Juli 2021 sekitar pukul 09.45 WIB, saya bertemu dengan Slamet. Ia duduk di pinggir Jalan Sultan Agung, depan gerbang PKOR Way Halim. 

Saya pun menyapanya dan membeli beberapa bungkus kerupuknya. 

“Pak Ardiansyah ya,” jawab Slamet yang mengenal saya lewat suara.

Saat itulah Slamet menyampaikan sesuatu ke saya dan berharap saya bisa menolongnya. “Ya, ada apa Met,” jawab saya.

Rupanya Slamet meminta bantuan saya untuk menolong anaknya yang diterima menjadi mahasiswa Unila melalui jalur mandiri. Anak tertuanya itu diterima di Fakultas Teknik. 

Dia kesulitan membayar uang Sumbangan Partisipasi Infrastruktur (SPI) sebesar Rp 25 juta. 

“Kok, bisa sebesar itu Met,” tanya saya,

Karena itu, ujar Slamet. Berat bagi dia  membayarnya. Apalagi disaat bersamaan, anak keduanya juga membutuhkan biaya sebesar Rp 8 juta untuk masuk ke sebuah pondok pesantren. 

Selain SPI, Slamet juga merasa berat untuk membayar uang semester sebesar Rp 9,5 juta.

Slamet pun menyampaikan keinginannya. Kalau bisa uang SPI bisa dikurangi Rp 10 juta dan uang semester Rp 3 juta saja. 

Saya pun langsung merespons permintaan Slamet dengan mengirimkan pesan via WhatsApp ke Aom yang saat itu selaku Rektor Unila.

“Assalamualaikum. Bang, ada anak yang diterima melalui jalur mandiri di Unila. Ayahnya tuna netra, sehari-hari berjualan kerupuk keliling. Dia betul-betul minta tolong agar uang bangunan sebesar Rp 25 juta dikurangi Rp 10 juta.  Insya Allah dia sanggup. Demikian juga uang semester kalau bisa Rp 3 juta saja. Saya berharap ada jalan keluarnya. Semangat dan perjuangan agar anaknya bisa kuliah bisa terwujud. Allah maha kuasa. Bukan hal yang mustahil anaknya akan menjadi salah satu pemimpin negeri ini", demikian isi WA saya ke Aom. 

Untuk meyakinkan Aom, saya pun mengirimkan foto Slamet dengan dagangan kerupuknya yang ia panggul menggunakan belahan bambu. 

Itulah kenapa saya bisa tahu dengan detil kapan pertemuan itu terjadi. Sebab saya masih menyimpan WA saya dengan Aom. 

Pesan via WA itu saya kirim pukul 10.01 WIB. Dan dijawab Aom pukul 10,56 menit.  

“Aamiin. Dilengkapi identitasnya. Kirim ke Wakil Rektor II tembus rektor," jawab Aom.

Pembicaraan saya via WA dengan Aom ini saya kirimkan ke staf saya yang memang sangat dekat dengan rektor dan pimpinan rektorat lainnya.

Namun, setelah melalui berbagai perundingan dan negosiasi, Unila memutuskan tidak bisa mengurangi besaran SPI itu. Sebab sudah masuk dalam sistem.

Unila memberikan kebijakan, uang itu bisa diangsur dua kali. Sedangkan untuk uang semester, setelah daftar bisa mengajukan keberatan.

Ada harapan bisa dikabulkan. Kepala Biro Keuangan Unila meminta agar Slamet bisa langsung menghadap. 

Ternyata hasilnya tidak berubah. Dan, Slamet mengaku saat itu dibantu Rp 50 ribu.

Saya meminta Slamet untuk menarik diri. Saya sarankan anaknya kuliah di UBL saja. Sambil kuliah, anaknya bisa bekerja di perusahaan saya, Harian Radar Lampung. 

“Terima kasih pak atas bantuannya. Biarlah dia tetap kuliah di Unila sesuai dengan keinginannya. Insya Allah saya sanggup,” ujar Slamet.

Sejak itu, saya beberapa kali bertemu dengan Slamet. Pertemuan terakhir saya sekitar empat bulan lalu. 

Saat itu selepas Isya sekitar pukul 8 malam. Saya melihatnya sedang memikul kerupuk dagangan di Jalan Untung Suropati. 

Saya pun berhenti. “Kok, jam segini belum pulang Met. Ayo saya antar ke rumah,” saya menawarkan jasa. Kasihan, jam segini dia masih menyusuri jalan raya.

Slamet menolak tawaran saya. 

“Nggak usah pak. Terima kasih". 

Saya tahu perjalanan Slamet ini masih jauh dari rumahnya di perumahan Kota Sepang. 

“Ya sudah Met kalau begitu,” ujar saya meninggalkan dia sambil memasukkan uang Rp 100 ribu ke saku bajunya. 

Sungguh saat itu saya lupa menanyakan kabar anaknya. Apakah masih kuliah atau tidak.

Sejak itu saya tak lagi dengar kabar Slamet. Dan baru ingat dia setelah Aom ditangkap KPK.

Sabtu hingga Minggu malam setelah Aom ditangkap saya terus teringat Slamet. 

Bagaimana nasibnya kini. Bagaimana kuliah anaknya? Ada perasaan bersalah. Kenapa saat itu saya tak membantunya membayar uang SPI itu.

Keinginan bertemu Slamet memuncak ketika saya salat Isya, Minggu malam. Saya menangis bukan karena memahami bacaan imam. Namun, saya ingat Slamet. 

Saya pun memutuskan, besok saya harus temui dia. Saya ingin tahu keadaannya. Keadaan anaknya.

Senin sekitar pukul 10 pagi, saya ke rumah kontrakannya di perumahan Kota Sepang.

Dia baru tinggal di sana enam bulan lalu. Dari pertemuan inilah saya baru tahu kehidupan Slamet yang sebenarnya.

Slamet ternyata sudah tahu soal penangkapan Aom dan kawan-kawan melalui siaran YouTube. 

“Kasihan ya Pak. Saya rasa kurang bersyukur saja,” ujar Slamet.

Slamet mengaku biasa-biasa saja saat permohonannya tidak dikabulkan pihak rektorat Unila. 

Bahkan kebijakan Unila bisa diangsur dua kali sangat membantunya. Dua anaknya, baik yang di Unila dan pondok bisa mendaftar.

Ia memang telah menabung selama belasan tahun untuk pendidikan anaknya. Hanya saja saat itu tabungannya kurang kalau untuk membayar pendaftaran dua anak sekaligus.

Baginya, pendidikan anak sangat penting. Dia ingin anaknya kelak bisa membantu orangtuanya saat tua nanti. 

"Bagi saya, untuk pendidikan anak, apapun akan saya usahakan. Yang penting saya sehat. Bisa mencari uang,” harapnya. 

Slamet, sosok ayah yang sangat tangguh. Uang SPI sebesar Rp 25 juta itu sudah dia lunasi. Juga uang semester setelah melalui proses banding mendapat keringanan menjadi Rp 5,1 juta. 

Secara matematis sulit bagi Slamet memenuhi kebutuhannya itu. Setiap hari dia mampu menjual 80 sampai 100 bungkus kerupuk. 

Modal satu bungkus kerupuk dia beli dari pasar Rp 4 ribu. Dijualnya Rp 5 ribu, Jadi ada keuntungan seribu rupiah. 

Jadi keuntungannya per hari antara Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu. 

“Tapi sering saya dapat uang lebih pak dari pembeli. Saya tak pernah minta. Tapi kalau dikasih saya terima. Yang penting niat saya adalah jualan,” paparnya.

Slamet memiliki tingkat tawakal sangat luar biasa. Keyakinannya pada sang pencipta begitu tinggi. 

Saat saya menyambangi rumahnya, lantunan murotal ayat-ayat al quran terdengar dari ponselnya. 

Dia sosok yang sangat religius. Mendengar lantunan ayat-ayat quran memang sudah menjadi kebiasaannya.

Bahkan dia hafal beberapa surat panjang. Seperti surat Yasin, Al Furqan, Ar Rahman, Al Waqiah, As Sajadah, Al Mulk dan surat lainnya.

Meski tuna netra, Slamet tetap berusaha menjaga shalat lima waktu. Karena itu dia atur waktu berjualan agar bisa shalat berjamaah di masjid. 

Pagi jam 8 dia mulai keliling sampai pukul 11.30. Setelah  zuhur, ia beristirahat hingga magrib sambil melayani jika ada yang meminta jasanya memijat. Setelah magrib, dia pun kembali keliling hingga pukul 12 malam. 

Dia senantiasa membiasakan puasa Senin Kamis. Juga salat malam. Bahkan empat rakaat shalat malam, dia membaca empat surat, yakni Yasin, As Sajadah, Al Furqan dan Al Mulk. 

“Terasa enak aja pak,” ujar Slamet.

Slamet ini juga sosok yang senantiasa selalu bersyukur atas apa yang ia terima. 

“Kalau kita bersyukur dan dekat dengan Allah, pasti Allah akan membantu kita. Itu betul saya rasakan,” paparnya.

Dia bercerita, suatu malam saat itu  belum ada HP dan pelanggan tetap. Dia berjalan keliling dari Vila Citra I dan Vila Citra 2. 

Tembus ke perumahan Gunung Madu,  perumahan Jaya Permai, lewat Jalan Morotai. Lalu ke Way Halim Permai sampai pukul 12 malam.

“Sampai kayu manis. Nggak dapat duit seperak pun pak.  Tapi saya sadar. Beginilah kalau Allah belum kasih duit. Walapun Bandar Lampung dikelilingi. Tetap juga nggak dapat duit.”  

Tapi Slamet tidak mengeluh, apalagi menyesal. Karena ia sudah berusaha. 

“Kalau nggak usaha, justru saya nyesal. Kenapa ndak ke sana. Kenapa nggak ke sana. Kayak gitu.” 

Kalau orang, sudah bukan ratusan lagi ia temui. Ribuan orang, selama ia menyusuri jalan-jalan perumahan dari Vila Citra hingga Kayu Manis. 

“Tapi kalau Allah belum kasih duit, ya begitu. Kalau saya pak, kalau nggak ada yang beli di sini, insya Allah di sana. Kalau nggak hari ini, insya allah besok. Jadi saya enteng aja pak.  Jadi nggak ada beban saya". 

Selama perbincangan lebih kurang satu jam, saya mendapat banyak pelajaran berharga. Saya menemukan sosok guru spiritual yang hebat. Sosok yang  memaknai dan membuktikan arti syukur itu dalam kehidupan. 

Bukan sosok yang senantiasa mengucapkan syukur. Namun sikap dan perilaku tidak mencerminkan rasa syukur itu.

Meski Slamet tidak sekolah. Tidak bergelar apapun, apalagi bergelar profesor, di mata, saya beliau lebih layak menjadi panutan. Tidak seperti mereka. (*)

 

Artikel ini sebelumnya telah tayang di Radarlampung.disway.id dengan judul : Aom-Slamet

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: