Lembah Kematian

Lembah Kematian

Oleh: Dahlan Iskan

HAMPIR saja penemuan ini masuk ke jurang kematian. Sekarang pun belum sepenuhnya keluar dari jurang itu. Sudah ada dewa penolong pertamanya: JICA dari Jepang. Tapi perlu beberapa dewa berikutnya –kalau bisa dari Indonesia.

Dengan dewa pertama itu saja ITS sudah bisa melahirkan bayi I-Nose.  Memang kalah cepat dari GeNose-nya Prof Kuwat Triyana dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu. Tapi akan punya keunggulan tersendiri.

Huruf I di depan Nose itu menandakan di mana ia lahir: ITS –Institut Teknologi 10 Nopember, Surabaya.

Penemunya: Prof Drs Ec Ir Riyanarto Sarno MSc PhD.

Ia Arek Suroboyo asli, lulusan elektro (arus lemah) Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat memasuki semester 5, Riyanarto punya ide baru: mengendalikan parameter ekonomi lewat komputer. Maka ia pun masuk fakultas ekonomi Universitas  Padjadjaran (Unpad) Bandung. Mulai lagi menjadi mahasiswa semester 1. Riyanarto pun lulus S-1 elektro ITB dan lantas menjadi sarjana ekonomi Unpad.

Beasiswa dari IBM membuatnya ke Kanada. Gelar S-2 dan S-3 didapat di sana. Di University of New Brunswick. Yang kampusnya di ujung timur Kanada. Dekat perbatasan dengan negara bagian Maine, USA. Dari kampusnya itu sudah lebih dekat ke Boston daripada ke Toronto.

Saat itu IBM baru memiliki super-computer untuk kali pertama. IBM meletakkannya di kampus tersebut -–karena ahlinya ada di situ. Riyanarto ditawari bergabung ke tim super-computer itu. Mau. Pun meski syaratnya berat: padat dengan proyek penelitian.

Itulah sebabnya Riyanarto mengajak sekalian istrinya ke Kanada. Anak-anaknya lahir di sana. Sekolah SD pun di sana.

Ketika keluarga Riyanarto harus kembali ke Indonesia, anak-anaknya minta sekolah di sana. Maka anak-anak itu balik ke Kanada. Ibu mereka menemani –sambil tetap menjadi istri jarak jauh. Sampai mereka lulus.

Kini anak sulungnya tinggal di sana. Dapat istri wanita Kanada –wanita kulit putih. Putri bungsu bekerja di Jepang –menjadi penyelia guru bahasa Inggris. Hanya satu anak yang di Indonesia. Tinggal di Jakarta. “Saya kembali tinggal berdua dengan istri di Surabaya,” katanya.

Dua tahun lalu Riyanarto mendapat penghargaan dari kementerian pendidikan dan ristek. Yakni sebagai guru besar yang paling produktif. Yang menghasilkan karya tulis hasil penelitian terbanyak di Indonesia: 270 karya tulis –sekarang menjadi 293. Banyak di antaranya yang dihasilkan bersama dosen lain saat masih di Kanada.

Tapi penghargaan itu juga yang membuat Riyanarto gelisah. Apalagi setiap kali mendengar ejekan ini: peneliti Indonesia itu hanya bisa menghasilkan kertas. “Saya terus terganggu dengan ejekan seperti itu,” katanya.

Setelah lama berlalu, saya bertemu lagi dengan Prof. Riyanarto kemarin. Di ”kerajaan” baru grup Samator di Surabaya. Ada tiga gedung pencakar langit di markas pusat grup bisnis bidang oksigen itu.

Di situlah kemarin diadakan vaksinasi masal untuk keluarga pengusaha. Khusus yang berumur 60 tahun ke atas. Bos grup Samator itu, Arief Harsono, adalah teman lama. Ia ketua Apindo, asosiasi pengusaha. Juga ketua Permabudi, persatuan masyarakat Buddha Indonesia.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin hadir. ITS ikut memamerkan temuan Prof Riyanarto di situ: I-Nose. Saya pun ikut mendengarkan ketika dilakukan demo di depan Menkes. Lalu saya temui sendiri Prof Riyanarto setelah itu.

Sejak menerima penghargaan itu kegelisahannya meningkat. Ia terus berpikir apa yang bisa dihasilkan. Apalagi ketika pandemi melanda dunia. Ia ingin berperan di dalamnya.

Riyanarto terus melakukan riset terkait dengan test Covid tapi yang tidak berisiko tertular virus. Lalu ia menemukan ada video itu: bandara Dubai mengerahkan anjing untuk mendeteksi Covid-19. Lewat bau badan penumpang pesawat.

Riyanarto tidak tahu dari mana referensi bahwa dari bau badan bisa dibedakan mana yang mengandung Covid dan mana yang tidak.

Pada bau badan manusia yang paling terdeteksi adalah di ketiak. Maka Riyanarto memfokuskan penelitian lewat keringat dari ketiak manusia.

Riyanarto ingin tahu ada berapa variasi bau badan.  Maka, untuk tahap awal, Riyanarto harus menjaring bau badan di spektrum yang luas: ia menggunakan 32 jenis sensor. Agar semua variasi bau badan terdeteksi.

Dari bulan ke bulan Riyanarto kian tahu lebih spesifik. Ia menyisihkan jenis bau ketiak yang terlalu jauh dari indikasi Covid. Itu ia buang. Kini Riyanarto tinggal menggunakan 10 sensor. Dan finalnya nanti mungkin tinggal 8 sensor.

Prof Riyanarto sadar benar bahwa dalam dunia invention ada yang dikenal dengan istilah ”lembah kematian penemuan”. Begitu banyak penemuan yang terkubur di lembah jenis itu. Tidak sedikit hasil penelitian yang berakhir di lembah itu.

Pun I-Nose. Kalau tidak ada JICA, penemuan Prof Riyanarto ini pun bisa terkubur di jurang itu. Ia sudah mencari dana ke mana-mana. Gagal. Lalu mengajukan ke lembaga kerja sama internasional milik Jepang itu. Berhasil. Sebenarnya sang dewa hanya mengucurkan dana USD 50.000. Tapi itu sangat menentukan. Bisa mengantarkan penemuan I-Nose ITS ini menapaki tebing jurang.

Awalnya JICA pun berat: tidak ada referensi yang mendukung penelitian ini. Tapi Riyanarto terus meyakinkan: ini memang hal baru di dunia.

Akhirnya JICA setuju dengan dana sekitar Rp 700 juta itu –-duh betapa kecilnya dibanding, misalnya, ehm, bansos yang itu.

I-Nose kini sudah kelihatan wujudnya. Tapi ia baru melewati tahap satu dari proses panjang menjadi penemuan yang final. Masih harus menghadapi tahap uji coba diagnostic. Lalu masih beberapa lagi.

Setiap tahap itu memerlukan dukungan dana. Tidak besar sebenarnya. Tapi ada saja penyebabnya. Padahal kalau dewa-dewa berikutnya tidak turun ke bumi bisa jadi I-Nose akan terguling lagi ke jurang kematian.

Rumah Sakit Islam Surabaya sudah menyediakan diri untuk membantu penelitian ini. Tiga mahasiswa S-3 di informatika ITS membantu penuh: Shoffi Izza Sabilla, Kelly Rossa Sungkono, dan Irzal Ahmad Sabilla.

Pasien Covid yang menjalani test PCR di RSI Surabaya juga dilakukan tes di I-Nose. Ketua Yayasan RS Islam itu, Prof Dr. Mohammad Nuh DEA, memberikan komitmen tertinggi. Ia adalah mantan mendiknas yang juga mantan Rektor ITS –sekarang masih menjadi ketua  majelis wali amanat.

Kalau saja I-Nose nanti lolos dari “lembah-kematian-penemuan”, maka keunggulannya jelas: inilah test Covid yang tidak berisiko penularan. Tidak seperti yang dari cairan hidung/tenggorokan maupun yang dari napas.

Dan murah sekali. Sekali test mungkin hanya Rp 10 ribu.

Juga cepat: 3 menit ketahuan hasilnya. Yang pertama harus dilakukan adalah mengelap ketiak. Dengan tisu. Agar bersih. Lalu, ujung kabel yang ada kapasnya dimasukkan ketiak. Dikempit selama 2,5 menit. Sensor langsung membaca.

Hasilnya, saat itu juga, dikirim ke HP kita –dalam bentuk QR yang bisa diverifikasi. Jadilah QR itu sejenis sertifikat. Yang bisa digunakan untuk naik pesawat atau kereta.

Rumah-rumah sakit bisa juga menggunakannya untuk melihat tren kesembuhan pasien Covid. Tiap hari pasien bisa dites. Dengan mudah dan murah. Tidak menimbulkan masalah biaya maupun kekhawatiran penularan.

Masalahnya: kapan I-Nose siap dipakai untuk umum.

“Mungkin 6 bulan lagi,” ujar Prof Riyanarto. Itu pun kalau ada dewa yang datang.

Setidaknya harus selalu ada harapan di negara ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: